Pejabat Daerah Tamak Rusak Tiga Pilar

Wednesday 18 Sep 2013, 6 : 32 pm
Ilustrasi

JAKARTA-Pemilukada saat ini dinilai telah kebabalasan dan banyak menimbulkan efek negative serta merusak tiga pilar di daerah.

“Bukan hanya memunculkan dinasti baru. Tapi juga merusak 3 pilar di daerah yang selama ini tenang,” kata Wakil Ketua DPD RI, La Ode Ida dalam diskusi “RUU Pilkada” bersama Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Johermansyah Johan dan Ketua Komisi II DPR RI Agun Gunandjar Sudarsa, dan Wakil Ketua DPD RI Laode Ida di Gedung DPD RI Jakarta, Rabu (18/9/2013).

Menurut La Ode Ida, tiga pilar yang rusak itu, antara lain, birokrasi, proyek atau bisnis dan politik.

“Kepala daerah yang terpilih langsung menempatkan orang-orangnya dan saudaranya dijabatan strategis. Agar mudah untuk mengendalikannya,” ujarnya.

Dalam hal proyek atau bisnis, kata La Ode, jangan pernah berpikir bahwa proyek-proyek yang ada di daerah itu akan diberikan kepada orang lain.

“Pasti akan diberikan kepada kepada saudaranya,” tegasnya.

Untuk pilar politik, ujar La Ode, para anggota DPRD juga akan dibagi-bagi, agar bisa mengatur anggaran.

“Jadi semua jabatan politik akan dikuasai kolega kepala daerah. Maka wajar kalau terjadi money politics, dan itu mennyuburkan korupsi. Padahal, kalau bisa meninggalkan politik buruk tersebut, maka bisa memajukan dan mensejahterakan daerahnya dengan mandiri dan berwibawa,” terangnya.

Sedangkan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Johermansyah Johan membeberkan sekitar 304 dari 500-an kepala daerah Kabupaten/Kota tersangkut korupsi sejak dipilih langsung pada 2005–2013 ini.

Karena itu, pemerintah mengusulkan pemilukada itu dikembalikan ke DPRD.

“Pilkada langsung faktanya mengakibatkan berbagai konsekuensi buruk di masyarakat. Ongkos politiknya mahal, korban jiwa mencapai 70 orang, 107 korban luka, 279 rumah rusak,  dan 95 %  pasangan pecah kongsi. Itu mengakibatkan birokrasi pemerintahan tak jalan,” paparnya.

Sementara Pilkada tak langsung, kata Johermansyah, ongkos politiknya lebih murah, dan  konflik sosial bisa dihindari, tidak sebagaimana Pilkada kabupaten/kota.

“Karena itu pemerintah mengusulkan kepala daerah itu dipilih oleh DPRD Kabupaten/Kota. Sementara wakilnya diangkat dari unsur pegawai negeri sipil (PNS) atau non PNS,” tukasnya.

Ketua Komisi II DPR, Agun Gunanjar juga tak membantah banyak efek negative akibat pilkada langsung, termasuk konflik sosial yang massif dan besarnya money politics.

“Tapi,soal  pemilihan langsung itu pejabat menjadi koruptor tak tepat. Sebab, hal itu akibat pemerintah pusat tak konsisten menjalankan otonomi daerah,” ungkapnya.

Menurut Agun, korupsi lebih disebabkan pengelolaan keuangan masih dipegang oleh pemerintah pusat.

“Mestinya anggaran itu diserahkan langsung kepada daerah. Kalau gula-gulanya di Jakarta, dan Dana Alokasi Umum (DAU) juga di Jakarta, maka ini sebagai design untuk menggagalkan otonomi daerah,” pungkasnya. **cea.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Jasmerah merupakan pesan yang masih sangat relevan sampai saat ini. Karena para elit bangsa Indonesia cenderung meninggalkan sejarah. Melupakan sejarah.

Utang Indonesia Kritis: Skema Ponzi?

Oleh: Anthony Budiawan Tulisan ini disampaikan pada forum diskusi publik

Diversifikasi Produk Olahan Cabai Rawit Hiyung Kalsel Terus Digenjot

JAKARTA-Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya melakukan pembinaan sentra Industri Kecil