Rapor Merah Kebijakan Politik Luar Negeri SBY

Senin 13 Okt 2014, 1 : 41 pm
by
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

5. Diplomasi perubahan iklim minim implementasi di dalam negeri. Komitmen Pemerintah SBY untuk menurunkan emisi karbon hingga 20% hanyalah isapan jempol belaka. Meski mendapatkan apresiasi negara lain di luar negeri namun tidak begitu kenyataan di dalam negeri.

Mengingat sejak Pemerintah SBY, Indonesia tak pernah menunjukkan upaya serius untuk menghentikan laju deforestasi. Melainkan terus menerus mengeluarkan kebijakan konversi hutan alam.

Bukti nyata antara lain seperti mengeluarkan 20 izin RKT seluas ratusan ribu hektar diatas hutan alam di propinsi Riau pada tahun 2008 untuk mendukung kebutahan  kayu industri bubur kertas dan  terus akan mengembangkan perkebunan monokultur seluas 12,9 juta hektar di 12 wilayah untuk mendukung program penggunaan bahan bakar minyak nabati di Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan tujuan pemerintah untuk terus meningkatkan produksi CPO sebesar 40 juta ton pada tahun 2020 untuk mendukung kebutuhan eksport sebesar 60% dan sisanya untuk kebutuhan energi, pangan dan lain sebagainya. Padahal sebagaimana yang kita ketahui setiap satu ton CPO akan menghasilkan dua ton CO2(Wetlands International, 2006). Kebijakan untuk terus mengkonversi hutan alam tentu saja bertentangan dengan apa yang menjadi perhatian bersama negara-negara di dunia untuk segera mengurangi emisi dari sector kehutanan dan perkebunan pada tahun 2020.

6. Ekstraktif Industri dan Tunduknya Negara Terhadap Korporasi Raksasa dan Multinasional. Negara memberikan dan memperluas konsesi skala besar untuk produksi komoditas global kepada korporasi-korporasi raksasa di bidang pertambangan, perkebunan dan kehutanan untuk memproduksi beragam komoditas global atau komoditas keperluan ekspor. Model semacam ini sebenarnya telah berjalan sejak masa kolonial.

‒        Pada wilayah hutan, misalnya, negara memberikan konsesi-konsesi yang berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan untuk Tanaman Industri (HPHTI), yang merupakan dua bentuk konsesi kehutanan terutama untuk ekstrasi kayu. Hingga tahun 2005, luas areal konsesi kehutanan yang tersisa sekitar 28 juta hektar yang dikuasai hanya oleh 285 unit. Dengan lain kata, setiap unit menguasai sekitar 98.000 hektar lahan. Negara secara terbuka dengan skema investasi memberikan keleluasaan bagi rejim perdagangan untuk memutar stagnasi finansial ke berbagai sektor di Indonesia. Pencabutan izin HPH tahun 2004 dan berganti dengan IUPHHK Hutan Alam tahun 2006 seluas 4,1 juta hektar. Pada tahun 2012 melonjak lebih dari 5 kali lipat menjadi 20,2 juta hektar melalui 313 izin.

‒        Sementara, untuk Konsesi Pertambangan negara memberikan sejumlah ijin yang berupaKontak Karya (KK), Kuasa Pertambangan (KP), atau Izin Usaha Pertambangan bagi beroperasinya industri tambang skala besar. Hingga tahun 1999 saja, Departemen Pertambangan mengalokasikan sekitar 264,7 juta hektar lahan untuk 555 perusahaan pertambangan, baik perusahaan dalam negeri (swasta dan BUMN) dan perusahaan asing, untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi barang tambang. Dengan kata lain, rata-rata setiap perusahaan menguasai sekitar 0,5 juta hektar tanah melalui izin konsesi pertambangan.

‒        Untuk usaha perkebunan, negara memberikan Hak Guna Usaha (HGU) atau Izin Usaha Perkebunan untuk berbagai macam usaha perkebunan (Bachriadi dan Wiradi 2011: 12-14). Data tahun 2013 saja, misalnya, mencatat lebih dari 13,5 juta hektar diperuntukkan hanya untuk perkebunan sawit. Lebih dari separuhnya adalah perkebunan milik koorporasi asing, domestik, maupun perusahaan negara.  Dalam waktu 6 tahun terakhir juga terjadi peningkatan pemberian izin terhadap HTI lebih dari 2 kali lipat dari 108 izin seluas 3,5 juta hektar menjadi 221 izin dengan total luas 8,8 juta hektar. Dimana terjadi peningkatan pengeluaran izin penebangan hutan alam seluas 16 juta hektar dalam waktu 6 tahun atau rata rata diatas 3,7 juta hektar setiap tahun. Pengeluaran izin ini sangat kuat kaitannya dengan perhelatan politik dimana terjadi lonjakan pengeluaran izin pada tahun 2009 pada IUPHHK-HA 44 izin dan 34 izin pada IUPHHK-HTI dengan luas 4,7 juta hektar.

7. Transparansi dan akuntabilitas sektor sumberdaya alam dan ekstraktif masih jauh dari harapan. KPK pernah mengingatkan korupsi di sektor minyak bumi dan gas merupakan yang terbesar. Selain itu, data hasil tim koordinasi dan supervisi KPK di sektor mineral dan batubara menyebutkan potensi kerugian Negara mencapai Rp 35,6 triliun. Pemerintahan SBY ternyata tidak mampu menciptakan perbaikan yang signifikan dalam proses tata kelola sektor migas dan minerba. Sejumlah pekerjaan rumah masih disisakan oleh SBY, seperti renegosiasi kontrak tambang-migas, pengurangan eksploitasi sumberdaya alam yang tidak bertanggungjawab, maraknya praktek rente disektor migas dan minerba. Pemerintahan SBY juga tidak mampumemrpendek rente perdagangan minyak mentah untuk efisiensi dan kebutuhan domestik.

8. Ketiadaan komitmen pemerintah dalam mendorong penghormatan standar HAM dan perlindungan buruh anak pada rantai pasokan barang dan jasa. Indonesia telah memiliki UU No. 13 tahun 2007 mengenai pekerja anak. Aturan ini menyatakan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak, namun pada bagian lain undang-undang ini  menyatakan pengecualian bagi anak yang berumur 13 ( tiga belas ) tahun sampai dengan 15 ( lima belas ) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial.  Ketidaktegasan ini berimplikasi pada lemahnya penegakan aturan, inspeksi dan monitoring untuk  mengidentifikasi, melaporkan dan mengatasi masalah pekerja anak pada setiap tahapan dan mata rantai produksi berbagai perusahaan tersebut.  Berdasarkan data dari Survei Tenaga Kerja Nasional (2010), terdapat sekitar 4,7 juta anak berusia 10 – 17 tahun yang aktif secara ekonomi. Dan dari total jumlah pekerja anak tersebut, sekitar 3.4 juta anak diserap oleh pasar sebagai pekerja. Besarnya pasar yang ada di Indonesia sebagai implikasi dari globalisasi menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya eksploitasi ekonomi pada anak di setiap tahapan dan mata rantai produksi

9. Tidak mampu menangani pelarian dan penghindaran pajak. Sedikitnya ada Rp 500 triliun potensi pajak yang hilang akibat berlindung di surga pajak (tax havens). Menurut Studi INFID dan Perkumpulan Prakarsa mencatat ada Rp 3.600 triliun aset orang-orang superkaya yang belum dikenai pajak akibat penghindaran pajak. Pemerintah Indonesia masih sangat enggan menjadi bagian dari komitmen internasional untuk memerangi kejahatan perpajakan lintas negara.

10. Diplomasi Kerjasama Ekonomi yang semakin mendorong liberalisasi dan merugikan petani, nelayan, buruh, perempuan, dan usaha rakyat kecil. Bukti nyata adalah ketika Indonesia menjadi Tuan Rumah KTM 9 WTO tahun 2013. Saat itu, pilihan strategi diplomasi SBY lebih memfasilitasi kepentingan korporasi dalam agenda Trade Facilitation dibandingkan mempertahankan kepentingan petani dalam proposal pertanian yang hendak menghapus pembatasan subsidi untuk petani.

 

Komentar

Your email address will not be published.

Don't Miss

Pasokan BBM

Pemerintah Antisipasi Lonjakan Konsumsi Energi

JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjamin

Berutang Rp15 Miliar, PT Hartono Naga Persada Gugat PT WSBP

JAKARTA-PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) melaporkan bahwa perseroan sedang