Sejumlah Pasal Permenperin 03/2021 Diduga Berbau Kepentingan Kartel

Monday 17 May 2021, 1 : 48 pm
by
Ilustrasi

JAKARTA-Masyarakat mempertanyakan kebijakan Menperin menerbitkan Permenperin 03/2021 yang dikatakan sebagai upaya menuju swasembada gula.

Pasalnya, jika merujuk pada isi dalam aturan tersebut dinilai tidak tersirat adanya spirit swasembada.

“Yang ada diduga spirit melanggengkan praktek impor gula rafinasi. Setidaknya ada sejumlah pasal yang diduga justru memberikan karpet merah ke sejumlah perusahaan tertentu dan berpotensi mematikan industri gula tanah air, UMKM, industri mamin khususnya di Jatim,” kata Ketua Forum Lintas Asosiasi Pengguna Gula Rafinasi, Dwiatmoko di Jakarta, Senin (17/05/2021).

Menurut Dwi, hal itu dapat dengan mudah teridentifikasi bahwa ada kepentingan tertentu yang diakomodir dalam Permenperin tersebut.

“Coba kita bedah soal bunyi pasal 5 huruf a) yakni Rekomendasi impor raw sugar hanya diberikan kepada PG yang memiliki Izin Usaha Industri (IUI) sebelum 25 Mei 2010″.

Itu artinya, kata Dwi, diduga pasal tersebut seperti memberikan proteksi terhadap 11 Anggota Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) yang dimiliki oleh 5 group. Apakah ini bukan semacam legalisasi kartel/oligopoli.?”

Menurut Dwi, hal ini kemungkinan menyalahi UU nomor 5/1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

“Dalam UU tersebut dijelaskan dalam pasal 1 bahwa Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan pemasaran atas barang/jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan kepentingan umum,” paparnya.

Pihaknya, lanjut Dwiatmoko, menyoroti tiga poin penting terkait Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional.

Menurutnya, pertama adalah untuk mengurangi potensi kebocoran.

Pada poin ini, Menperin justru bertentangan dengan bunyi Pasal 2 ayat 6. Pasal 2 ayat 6 yang berbunyi Dalam hal terdapat perubahan tempat pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, tidak diperlukan perubahan rekomendasi.

“Bila dicermati bunyi pasal tersebut, artinya raw sugar boleh dimasukan dipelabuhan mana saja tanpa memerlukan ijin dari pemerintah. Padahal, aturan sebelumnya melarang ketat terjadinya perubahan tempat pemasukan dalam rangka mencegah rembesan. Pasal krusial ini malah sekarang dihilangkan dan diganti dengan Pasal 2 ayat 6 itu tadi,” ungkap Dwiatmoko.

“Pasal ini diduga menyebabkan legalisasi gula rembesan yang tentu saja akan merugikan para petani tebu kita. Juga melanggengkan perusahaan yang sudah ditunjuk (11 perusahaan) untuk terus menghegemoni pasar. Patut diduga isi pasal-pasal tadi itu berbau kepentingan sejumlah kartel,” sambungnya.

Untuk diketahui, kata Dwi, beda harga gula rafinasi dengan gula konsumen mencapai Rp2.500/kg, bisnis rembesan ini sangat menggiurkan.

“Kalau untuk mengatasi rembesan, sebaiknya lakukan saja audit sucofindo untuk memverifikasi ijin impor vs PO, Surat jalan dan Faktur pajak 11 produsen gula rafinasi yang nakal cabut ijin usahanya. Dari aspek ini jelas tujuan Permenperin 03/2021 tidak bisa mengatasi rembesan,” tegasnya.

Dengan adanya Permenperin tersebut, ujar Dwi lagi, UMKM dan industri mamin di Jatim khususnya, sekarang harus beli gula dari wilayah lain dalam hal ini dari Jawa Barat (Jabar) guna memenuhi kebutuhannya.

“Jelas akan berdampak ke sisi harga dan cost produksi UMKM serta industri mamin jika kondisi demikian tidak dikaji. Yang jelas akan jauh lebih mahal harga gulanya dan kualitas gulanya pun kurang bagus,” paparnya.

Dikatakan Dwi, padahal kebutuhan gula di Jatim mencapai 370.000 ton/tahun.

Dengan jumlah kebutuhan yang cukup besar itu, maka diduga Permenperin menguntungkan AGRI.

“Alasannya, industri gula di Jatim tidak mampu memenuhi kebutuhan atau dalih irasional lainnya semacam tidak adanya perkebunan,” ungkapnya.

Selain itu, dia juga menyoroti konsistensi pemerintah terkait perlunya investasi dan inovasi guna mendorong percepatan ekonomi.

“Sebelumnya Pemerintah menginginkan agar investasi dan inovasi jadi skala prioritas dalam menggenjot atau menstimulus perekonomian.”

Namun kenyataannya, lanjut Dwi lagi, dengan adanya Permenperin 03/2021 justru pabrik gula dan pabrik mamin di Jatim yang sudah menerapkan Industry 4.0 dengan biaya ratusan miliar rupiah untuk handling bulk dan sugar sirup tidak terpakai lagi dan terancam mangkrak.

“Padahal disamping efisien, bulk dan sugar sirup juga untuk atasi rembesan,” tegasnya. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

OJK Resmikan ‘Market Standard’ Transaksi Repo Atas Efek Bersifat Equitas

JAKARTA-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berupaya mengembangkan Pasar Modal Indonesia

Di PHK Tanpa Alasan, Johanes Mengadu ke Nasdem

JAKARTA-Meski sudah bekerja selama 20 Tahun, Johanes DB Wahono harus