Setianto: Dunia Pendidikan Ilmu Hukum Sedang Sakit!

Friday 27 Mar 2015, 1 : 04 am
by

SEMARANG-Karut marutnya penegakan hukum di Indonesia tidak lepas dari proses pendidikan ilmu hukum yang sedang sakit akibat kurikulum yang dititikberatkan kepada terciptanya tukang dan operator hukum yang siap kerja.

Kritik keras terhadap dunia pendidikan tersebut dilontarkan B. Danang Setianto, Dekan Fakultas Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Komunikasi (FHK) Universitas Katolik Soegijapranta dalam diskusi bertajuk “Pendidikan Hukum di Tengah Karut Marut Penegakan Hukum di Indonesia” di Semarang, Kamis (26/3).

“Seringkali atas nama memperbaiki lulusan sarjana yang siap pakai, pendidikan tinggi hukum kemudian menjejalkan materi-materi yang sesegera mungkin bisa digunakan ketika lulusannya bekerja. Proses memaknai atau menafsirkan kata-kata dalam UU dan peraturan lainnya lebih disandarkan kepada kepentingan sesaat yang berkembang pada saat itu,” ujarnya.

Kondisi itu, lanjutnya, diperparah dengan mulai ditiadakannya atau dikuranginya mata kuliah ilmu social dasar seperti filsafat, sosiologi dan antropologi. Ilmu yang sebenarnya memperkaya pola piker hukum dan memberikan alternatif pola pemikiran dalam memahami, membuat dan mengkritisi hukum.

Dalam kesempatan yang sama, W. Riawan Tjandra pengamat Hukum Universitas Atma Jaya Jogjakarta (UAJY) menyatakan dunia pendidikan hukum yang didominasi cara berpikir dogmatis dan konservatif lebih sering dianggap tak mampu berbuat banyak menghadapi fenomena instrumentalisasi hukum yang distimulasi oleh rasio instrumental aparatus hukum.

“Hukum yang seharusnya menjadi sarana pencerahan dalam persilangan kepentingan multipolar dan politik transaksional telah bermetamorfosa menjadi sarana legitimasi kepentingan aktor dan institusi yang sering menyebabkannya tercabut dari esensinya sebagai sarana keadilan,” tutur staf ahli Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.

Senada dengan hal tersebut, Staf Penindakan KPK, Ariawan Agustiartono menuturkan dalam dunia pendidikan ilmu hukum masih mendidik mahasiswa menjadi orang-orang yang sekadar paham hukum positif tetapi kurang mempersiapkan mereka sebagai seorang mahasiswa yang memahami prinsip- prinsip hukum.

“Sehingga mahasiswa terjebak pada pedebatan hukum positif dengan melupakan prinsip dasar hukum itu sendiri. Sebagai contoh dalam sejumlah kasus, kadang ketentuan perundang-undangan kurang memadai karena terdapat delik-delik yang belum diatur secara tegas. Sehingga dalam prakteknya penegak hukum akan berakrobat mencari ketentuan hukum yang bisa dapat dipergunakan,” ujar alumni FHK Unika Soegijapranata tahun 1997.

Dia mencontohkan dalam kasus Gayus Tambunan pegawai Dirjen Pajak dimana penyidik dan penuntut umum memaksimalkan perihal gratifikasi untuk mendakwa Gayus yang merupakan PNS golongan 3B tetapi memiliki aset Rp90 Miliar.

“Saat ditanya darimana aset itu berasal Gayus tidak bias menjelaskan. Meskipun tidak ditemukan siapa yang melakukan suap terhadap Gayus untuk itu Penuntut Umum membalikkan beban bukti kepada Gayus untuk membuktikan darimana sumber uangnya,” tuturnya.

Lewat proses panjang akhirnya pada 19 Januari 2011, Gayus Tambunan telah dinyatakan bersalah atas kasus korupsi dan suap mafia pajak oleh Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan dengan hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta

Diskusi yang digelar civitas akademika FHK UNIKA Soegijapranata merupakan rangkaian syukuran keberhasilan program studi Ilmu Hukum meraih akreditasi A sebanyak tiga kali berturut-turut sejak didirikan pada 1982.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Pelaku Usaha Rotan Diminta Memanfaatkan Potensi SRG

CIREBON-Pemerintah mengharapkan pelaku usaha rotan memanfaatkan potensi Sistem Resi Gudang

Akbar: Prabowo-Hatta Kombinasi Paling Tepat

MEDAN-Cawapres Hatta Rajasa kembali menekankan pentingnya tim pemenangan untuk bekerja