Tolak Intervensi, Ini Surat Edi Danggur ke Kasatpol PP Provinsi DKI Jakarta

Kamis 30 Sep 2021, 11 : 12 am
by
kuasa hukum ahli waris menolak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagai eksekutor atas putusan Pengadilan.
Praktisi Hukum Edi Danggur, S.H., M.M., M.H

Negara Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara kekuasaan otoriter:

⦁ Bahwa sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: “Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum berarti bahwa segala persoalan dan silang sengketa dalam hidup bermasyarakat dan bernegara harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan oleh pemegang otoritas hukum yang sah. Dalam negara hukum, tidak ada lagi tempat bagi penyelesaian sengketa dengan adu otot atau kekerasan antara para pihak, tidak ada penyelesaian perkara berdasarkan rasa suka atau benci (like and dislike). Negara hukum dengan karakternya seperti itu disebut pula negara beradab, negara yang dikelola dengan akalbudi dan bukan oleh nafsu kebinatangan. Ada keharusan menyelesaikan perkara oleh otoritas hukum, bukan main hakim sendiri (Masdar Farid Mas’udi, Syarah UUD 1945: Perspektif Islam, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2013, hal. 69).

⦁ Bahwa telah berkali-kali terjadi kekerasan di lapangan karena PT Pertamina hendak memasuki lahan sengketa dalam rangka mengosongkan tanah sengketa dengan menggunakan pengawalan polisi dan ormas Pemuda (foto dan video terlampir). Upaya pengosongan lahan sengketa dengan cara demikian merupakan tindakan main hakim sendiri, mempertontonkan adu otot dan adu kekerasan, yang jelas-jelas bertentangan dengan jiwa dan semangat negara hukum yang seharusnya dikelola dengan akal budi, dan bukan oleh nafsu kebinatangan (mengutip pendapat Masdar Farid Mas’udi tersebut di atas).

⦁ Bahwa sampai dengan saat ini tidak ada satupun produk hukum di bawah UUD 1945 yang membolehkan eksekusi pengosongan lahan sengketa dengan menggunakan jasa Satpol PP, polisi dan ormas pemuda. Lagi pula Satpol PP dan polisi itu adalah penegak keamanan dan ketertiban yang harus bersikap netral di antara pihak-pihak yang bersengketa. Dengan kata lain, polisi dan satpol PP harus menjadi bagian dari solusi dan bukan menjadi bagian dari masalah itu sendiri.

⦁ Bahwa PT Pertamina telah berkali-kali memperlihatkan sertifikat dan dua putusan PK setiap kali berusaha memasuki lahan Pancoran Buntu II dengan kekerasan dan adu otot. Menilai validitas sertifikat-sertifikat dan dua putusan PK tersebut hanya akan mendatangkan perdebatan yang tidak berujung. Oleh karena itu, satpol PP dan polisi sebagai bagian dari solusi, seharusnya menyarankan kepada PT Pertamina agar pelaksanaan eksekusi pengosongan harus dilakukan oleh otoritas hukum. Sebab Satpol PP dan Polisi bukan otoritas hukum yang berwenang menerbitkan penetapan eksekusi pengosongan.

⦁ Bahwa sesuai ketentuan Pasal 195 ayat (1) HIR, otoritas hukum yang berwenang untuk menjalankan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah Pengadilan Negeri (PN). Mengingat lahan sengketa Pancoran Buntu II ada dalam wilayah hukum PN Jakarta Selatan, maka pengosongan atas lahan sengketa tersebut hanya dapat dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua PN Jakarta Selatan, melalui sebuah penetapan eksekusi pengosongan lahan sengketa. Keberadaan Satpol PP dan Polisi hanya untuk mengawal Ketua dan/atau jurusita PN Jakarta Selatan guna memastikan penandatanganan berita acara pengosongan lahan sengketa berjalan lancar tanpa ada hambatan di lapangan. Tetapi Satpol PP dan Polisi tidak bisa menggantikan posisi Ketua PN Jakarta Selatan untuk melakukan eksekusi pengosongan atas tanah Pancoran Buntu II tersebut.

Komentar

Your email address will not be published.

Don't Miss

OJK Cabut Izin Usaha PT BPR Bintang Ekonomi Sejahtera Tangsel

JAKARTA-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas pengaturan dan pengawas lembaga

Komjen Tito Karnavian Calon Kapolri Pilihan Jokowi

JAKARTA-Teka-teki mengenai nama calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri)