Utang Pemerintah untuk Belanja Produktif: Bodoh atau Pembodohan Publik? (Bagian 1)

Tuesday 26 Jul 2022, 5 : 48 pm
by
Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Oleh: Anthony Budiawan

Hanya di Indonesia, utang pemerintah menjadi polemik dan debat publik. Debat yang tidak produktif sama sekali.

Debat yang membuat masyarakat bingung, dan menjadi lebih bodoh.

Utang pemerintah tahun 2021 sudah tembus Rp6.900 triliun. Melonjak dahsyat dibandingkan 2014 yang hanya sekitar Rp2.600 triliun.

Bertambah sekitar Rp 4.300 triliun, atau rata-rata Rp614 triliun per tahun.

Padahal, selama 10 tahun sejak 2004 hingga 2014, utang pemerintah hanya bertambah Rp1.300 triliun, atau rata-rata hanya Rp130 triliun per tahun.

Karena itu, dapat dimengerti kalau masyarakat prihatin atas lonjakan utang pemerintah era Jokowi ini.

Masyarakat khawatir utang pemerintah pada akhirnya akan membebani masyarakat, membebani anak dan cucu kita, melalui pajak.

Kekhawatiran masyarakat ternyata terbukti. Di tengah ekonomi yang masih sulit, tahun ini, pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen, di samping juga memperluas barang kena pajak, termasuk produk pangan.

Pemerintah bijak seharusnya mengerti kekhawatiran masyarakat. Pemerintah seharusnya menjelaskan secara bertanggung jawab.

Karena masyarakat merupakan struktur tertinggi di dalam sebuah negara: kedaulatan rakyat, sebagai pembayar pajak, sebagai penanggung jawab akhir atas beban utang negara.

Pemerintah memang mencoba memberi penjelasan dengan berbagai alasan. Tetapi, alasannya malah memperkeruh situasi, tidak masuk akal, sehingga terkesan bodoh, atau membodohi publik?

Alasan pertama, aset pemerintah lebih besar dari utangnya, maka tidak masalah, alias aman.

Alasan Kedua, rasio utang pemerintah di bawah 60 persen dari PDB, di bawah batas undang-undang, maka tidak masalah, alias aman. Dan alasan ketiga, utang pemerintah digunakan untuk belanja produktif, maka tidak masalah.

Ketiga alasan tersebut tidak ada dasar rujukan sama sekali. Apalagi rujukan teori ekonomi. Malah terkesan tidak mengerti ekonomi, terkesan bodoh atau membodohi publik?

Alasan bahwa utang pemerintah tidak masalah karena aset pemerintah lebih besar dari utang, menunjukkan tidak paham ekonomi, terkesan membodohi publik.

Pertama, pemerintah tidak seperti perusahaan yang bisa default atau gagal bayar.

Pemerintah tidak bisa default atas utang dalam rupiah kepada penduduk dalam negeri.

Karena pemerintah selalu bisa membayar utangnya dengan menarik utang baru, atau dengan mencetak uang, atau dengan menaikkan pajak.

Pemerintah hanya bisa default atas utang luar negeri, yang akan dijelaskan lebih lanjut.

Kedua, tidak semua aset pemerintah bisa dijual (divestasi) kepada pihak ketiga, misalnya bendungan, jalan nasional, taman nasional, dan sejenisnya. Karena alasan peraturan dan undang-undang, atau tidak mempunyai nilai komersial.

Ketiga, aset pemerintah, lebih tepatnya aset negara, pada dasarnya “tidak terbatas”.

Semua lahan, hutan atau pulau yang tersebar di seluruh Indonesia pada prinsipnya aset negara, dan pemerintah bisa “menjual”-nya apabila diperlukan, meskipun aset tersebut tidak tercatat di dalam neraca keuangan negara.

Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) di Jakarta

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Paket Kebijakan Ekonomi Pulihkan Industri Nasional

JAKARTA-Sektor industri berperan penting bagi perekonomian nasional. Bahkan industri dinilai

Sambut MEA, YES-Summit 2015 Koneksikan ASEAN

SURABAYA-Menapaki era baru Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, masing-masing negara