Jembatan udara melalui penerbangan pesawat kargo bersubdisi membawa muatan 1.200 kg sekali jalan atau sekitar 8-10 ton barang setiap harinya. Jumlah ini dirasakan masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan warga Kota Oksibil dan distrik dan kampung sekitarnya, misalnya Distrik Oksepang, Okbape, Serambakon, serta Kampung Yapimakot dan Dabolding.
“Di wilayah Pegunungan Bintang ini total ada 76 lapangan terbang, selain Bandara Oksibil yang ada di ibu kota kabupaten,” ungkap Plt. Kepala Bandar Udara Oksibil, Agus Hadi. Khusus Bandara Oksibil, setiap hari melayani 50 pergerakan pesawat, artinya ada 100 take off dan landing dari bandara ini menuju Tanah Merah di Boven Digoel maupun Sentani, Jayapura.
Beratnya medan ke wilayah pedalaman yang hanya bisa ditempuh melalui angkutan udara tak jarang membuat harga kebutuhan pokok di Kabupaten Pegunungan Bintang melambung. Harga BBM jenis premium pernah menembus Rp 150 ribu per liter, sementara dalam kondisi ‘normal’ rata-rata harga bensin mencapai Rp 45 ribu setiap liternya.
“Mahalnya harga bahan bangunan juga membuat biaya pembangunan rumah sangat tinggi. Hampir semua rumah terbuat dari kayu, karena harga semen dan material amat mahal. Membangun rumah dari batu di sini bisa membutuhkan biaya sekitar Rp 15 juta setiap meter perseginya,” papar Agus Hadi.
“Kami berterima kasih kepada Kementerian Perhubungan atas berjalannya program jembatan kargo, Kebijakan ini membuat disparitas antara harga kebutuhan pokok di kota dan Pegunungan Bintang bisa terpangkas,” kata Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Pegunungan Bintang Alferus Sanuari.