Hentikan Agresifitas China, Pemerintah Harus Tuntaskan Perjuangan Laut Natuna Utara

Wednesday 1 Jan 2020, 8 : 35 pm
by
ilustrasi

JAKARTA-Pelanggaran Zona Economy Exclusive (ZEE) Indonesia oleh armada Coast Guard Republik Rakyat China (RRC) dan kapal pencari ikan negara itu hanya bisa dihentikan bila pemerintah serius memperjuangkan Laut Natuna Utara.

Selama perairan di wilayah Indonesia dari kawasan Pulau Natuna sampai Bangka Belitung masih menggunakan nama Laut China Selatan, selama itu pula China akan “besar kepala” karena merasa memilik “hak sejarah” atas perairan itu.

Demikian disampaikan dosen hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Teguh Santosa, dalam keterangan di Jakarta, Selasa (31/12).

Teguh mengatakan, sikap pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, memanggil Dubes China di Jakarta, Xiao Qian, untuk dimintai keterangan sudah tegas dan tepat.

Namun menurut Teguh yang pernah menjadi Ketua bidang Luar Negeri Pemuda Muhammadiyah, langkah ini kelihatannya masih kurang efetif untuk menghentikan agresivitas China di Laut China Selatan di masa depan yang bisa mengancam integritas teritori dan kedaulatan Indonesia.

Indonesia memang bukan merupakan salah satu negara yang terlibat dalam sengketa di Laut China Selatan.

Sengketa di kawasan yang oleh China diklaim dengan menggunakan sembilan garis-putus atau dashed-line itu terjadi antara China dengan negara-negara ASEAN yang lain, yakni. Malaysia, Filipina, Vietnam dan Brunei Darussalam.

China sudah lama mengklaim perairan itu, sejak 1947, tak lama setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Perang Saudara antara Partai Nasionalis Kuomintang dan Partai Komunis China pada masa itu membuat klaim tersebut tidak jadi fokus utama di China. Pertempuran untuk menentukan siapa penguasa China jauh lebih penting.

Setelah Kuomintang kalah dan melarikan diri ke Taiwan, serta Partai Komunis China berkuasa di Daratan China, klaim ini pun lama tidak disentuh.

Pemerintahan Partai Komunis China di Beijing kembali meributkan soal klaim mereka di Laut China Selatan pada tahun 2009, setelah perlahan tapi pasti negara itu bangkit menjadi penantang dominasi Amerika Serikat di kawasan.

Tidak tanggung-tanggung, China secara sepihak membangun beberapa pulau atol di peraiaran itu sebagai pangkalan militer.

Manuver China ini mengubah lanskap sengketa di perairan Kepulauan Spartly dan Kepulauan Paracel.

Negara-negara ASEAN yang merupakan claimant di perairan itu kelihatan kesulitan menghadapi China yang tidak hanya memiliki kekuatan kapital dan militer, namun juga berani mengajukan klaim sejarah.

Dalam konteks inilah, menurut Teguh, upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia di tahun 2017 lalu, yakni mengubah nama perairan di Pulau Natuna menjadi Laut Natuna Utara sebagai langkah yang brilian dan bisa menghentikan ketegangan antara Indonesia dan negara-negara di kawasan, terutama China yang sangat agresif.

Setelah peta baru itu diumumkan, pemerintah China mengirimkan surat protes. Pemerintah Xi Jinping tidak dapat menerima nama Laut Natuna Utara.

China menginginkan agar perairan Natuna, sampai Bangka Belitung, tetap dinamakan Laut China Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Bulog Gagal Kendalikan Harga Beras

JAKARTA-Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) dinilai telah gagal

Harga dan Pasokan Barang Kebutuhan Pokok H-2 Puasa Aman

JAKARTA-Pemerintah memastikan harga dan pasokan bahan kebutuhan pokok menjelang H-2