Ade Armando, Kemunduran Demokrasi dan Revolusi Mental

Friday 15 Apr 2022, 1 : 25 pm
by
Sekjen Kornas Ganjarist, Kris Tjantra

Oleh: Kris Tjantra

Beberapa hari ini, media sosial dibanjiri dengan berita penganiayaan terhadap Ade Armando, salah seorang pegiat medsos, dosen di Universitas ternama di Indonesia.

Seperti biasa postingan yang beredar di media sosial juga terbelah antara yang membela dan mendukung Ade dan yang mendukung perbuatan biadab tersebut.

Ironisnya, penganiayaan terjadi disaat sekelompok masyarakat sudah selesai menyampaikan aspirasi mereka di Gedung DPR/MPR sebagai bagian dari proses demokrasi dimana Ade justru mendukung aspirasi para pendemo.

Apakah ini merupakan kemunduran demokrasi atau krisis kepercayaan?

Bagi sebagian masyarakat yang turun ke jalan mungkin tidak paham betul makna dari demokrasi, kegiatan ini bisa jadi merupakan bagian dari cari menunjukkan eksistensi diri dan kelompok mereka.

Ketika para mahasiswa berbicara pada wakil rakyat yang sudah dipilih melalui proses Pemilu, para anggota parlemen jalanan yang memiliki pemimpin dengan agenda tertentu bergerak dengan tujuannya sendiri.

Dengan pemahaman minim, mereka merendahkan nilai demokrasi dengan nasi bungkus dan sedikit rupiah dengan bumbu kekerasan.

Salahkah mereka? Ketika nasi bungkus memicu nafsu menganiaya seseorang, siapapun itu, provokator dan pelakunya jelas bersalah, tapi yang lebih salah lagi adalah para mastermind yang memanfaatkan sedikit uang mereka untuk membeli kesetiaan semu dari masyarakat yang minim pengetahuan dan literasi.

Mereka ini yang membuat air keruh kemudian memancing di dalamnya, dasamuka yang berusaha agar negeri ini tidak menjadi negeri yang maju dan tenteram, sebelum mereka berkuasa bahkan jika mereka bisa berkuasa.

Mereka inilah yang harus diburu, bukan hanya para pion jalanan, mereka memanipulasi masyarakat atas nama demokrasi jalanan.

Indonesia merupakan masyarakat yang paling plural dengan lebih dari 700 suku bangsa, 5 agama resmi dan berbagai aliran kepercayaan, toleransi saja tidak cukup, perlu ditumbuhkan rasa kesetiakawanan sosial atau solidaritas sesame anak bangsa.

Hal ini menjadi sulit ketika ada kelompok-kelompok yang menumbuhkan budaya eksklusif dan radikalisme yang terinternalisasi.

Masih banyak masalah yang belum terselesaikan, baik di bidang sosial, budaya dan pendidikan yang dimanfaatkan oleh gerakan politik dan budaya yang menyimpang dengan kedok doktrin agama melalui komunitas-komunitas yang mereka bangun maupun melalui media sosial.

Jika kita baca isi media sosial dari kalangan tertentu, maka kita dapat melihat kemunduran perilaku sosial dan meningkatkan ego individu/kelompok tertentu.

Revolusi Mental pernah diharapkan sebagai kendaraan untuk membawa masyarakat yang semakin terpolarisasi kembali bersatu menjadi suatu kekuatan bangsa menuju masyarakat yang berlandaskan Pancasila sesuai cita-cita para pendiri bangsa ini yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 45.

Apakah Revolusi Mental hanya sekedar jargon?

Pelaksanaannya memang tidak mudah, karena masyarakat bukan hanya perlu di edukasi menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara, tantangan terbesarnya adalah pada bagaimana meluruskan persepsi radikal yang sudah terlanjur tertanam dalam masyarakat dan meyakinkan mereka bahwa cita-cita besar bangsa ini bukan hanya sekedar utopia, tapi perlu usaha dari kita semua untuk mencapainya.

Karena itu, sudah saatnya kita menjadi lebih beradab dalam berdemokrasi.
Saatnya, kita memikirkan kepentingan bersama.

Kalau terlalu larut dalam pergumulan berebut kekuasaan, bukan tidak mungkin bangsa ini akan pecah chaos.

Semoga ini menjadi bahan renungan kita bersama.

Salam Akal Sehat

Penulis adalah Sekjen Kornas Ganjarist di Jakarta

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

PUAN MAHARANI

Di Sela KTT di Prancis, Puan Bertemu dengan Presiden Macron

JAKARTA-Ketua DPR RI Puan Maharani mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
suspensi, BEI, Saham HITS, KJEN

Penurunan IKK Cerminan Perilaku Saving Tetap Berlanjut di Semester Pertama 2022

JAKARTA-Analis PT Kanaka Hita Solvera (B-Trade Elliottician), Halimas Tansil menilai,