“Emak nungguin saya ujian skripsi meski tidak tahu apa itu. Tetapi kehadiran emak itulah yang memberi kemantapan dan kekuatan kepada saya yang sangat luar biasa. Emak juga menangis ketika saya diwisuda pada Agustus 2019. Emak bukan orang berpendidikan tetapi emak tahu anaknya sudah selesai sekolah,“ kisah Deni Iskandar yang nama panggilannya Bung Goler.
Sebenarnya UIN Syarif Hidayatullah bukanlah perguruan tinggi satu-satunya yang dimasuki.
Sebelum ke UIN, Deni Iskandar sempat kuliah di Universitas Az-Zahra, Jatinegara, Jakarta Timur. Ketika menginjak semester dua, Deni meninggalkan kampus Az-Zahra, Jatinegera karena di jurusannya yakni Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Agama, mahasiswanya hanya 3 (tiga) orang.
Akhirnya ia harus menyebrang ke UIN.
Ternyata, di UIN Deni banyak bertemu dengan rekan-rekannya yang dulu pernah mondok bersama semasa di madrasah Aliyah.
Deni Iskandar adalah salah satu murid dari Abuya KH Ahmad Muhtadi bin Dimyathi al-Bantani, ulama terkenal di Provinsi Banten.
Anak kedua dari Ibu Iyot ini memang unik dalam pendidikannya. Ketika ibunya berjualan kopi di Tanah Abang, Jakarta, ia dititipkan kepada kakak perempuan emaknya.
Hanya si bungsu yang dibawa oleh ibunya ke Jakarta. Ia lulusan SMP di Babakan Lor, Cikedal, Pandeglang. Ketika lulus SMP, ia ingin melanjutkan ke STM supaya bisa segera bekerja.
Kalau lulus, keinginannya agar bisa meringankan beban emaknya. Namun keinginan itu tidak tersampaikan.
Ia disekolahkan di Madrasah Aliyah, harus mondok. Ia tidak suka. Berulangkali ia meninggalkan pesantren karena tidak betah dan selalu teringat beban emaknya.
Meski berulangkali kabur, berulangkali pula, dia dikirim pulang ke pesantren.
Sang emak hanya yakin dengan belajar agama, anak laki-lakinya akan menjadi orang yang berguna.
Namun apa daya, pada kelas tiga, Deni melarikan diri dan akhirnya memilih menjadi kernet truk yang disopiri saudaranya – truk ekspedisi di Cikarang, Jabar.