Dirut PEHA: RI Bakal Jadi Pemain Utama di Industri Obat Herbal

Friday 19 Nov 2021, 7 : 51 pm
by
pada Semester I-2020 nilai penjualan PEHA tercatat sebesar Rp466,24 miliar atau lebih besar dibanding perolehan hasil penjualan di Semester I-2020 yang senilai Rp453,92 miliar.
PT Phapros Tbk

JAKARTA-Direktur Utama PT Phapros Tbk (PEHA), Hadi Kardoko meyakini bahwa Indonesia akan menjadi pemain utama industri herbal, lantaran memiliki sumber daya hayati berupa 29.000 jenis tanaman yang sebanyak 2.484 di antaranya merupakan tanaman obat.

“Potensi pengembangan obat herbal di Indonesia didukung dengan perilaku masyarakat kita yang sebagian besar lebih memilih pengobatan secara tradisional dengan memanfaatkan bahan-bahan yang bisa diperoleh di alam sekitar, daripada menggunakan obat kimia,” kata Hadi dalam siaran pers yang dikutip, Jumat (19/11).

Berdasarkan data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2020, ujar Hadi, Indonesia masuk ke dalam kategori negara megabiodiversitas terbesar keempat di dunia yang memiliki lebih dari 29.000 jenis tanaman, sedangkan sebanyak 2.484 jenis merupakan tanaman obat.

Dia menyebutkan, sejauh ini sebagian dari tanaman obat di Indonesia sudah dimanfaatkan oleh industri farmasi untuk pembuatan obat herbal fitofarmaka atau yang kerap disebut Obat Modern Asli Indonesia (OMAI), yakni obat berbahan dasar dari alam yang sudah melewati uji praklinik (pada hewan percobaan) dan uji klinik (pada manusia).

Hadi mengatakan, saat ini PEHA sudah memanfaatkan obat bahan alam tersebut, yang memiliki dua produk dari 23 produk obat herbal fitofarmaka yang memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).

“Kami memiliki Tensigard yang diformulasikan sebagai anti hipertensi dengan komposisi ekstrak seledri (apium graveolens) 75 persen dan ekstrak kumis kucing (orthosiphon stamineus) 25 persen,” ujar Hadi.

Selain itu, Phapros juga memiliki produk X-Gra yang berfungsi meningkatkan stamina dan kesegaran tubuh pada pria, memperbaiki kualitas sperma, serta mengatasi masalah ejakulasi dini.

“Terbuat dari ekstrak ganoderma lucidum (jamur Ling Zhi), ekstrak eurycomae radix, ekstrak ginseng, ekstrak retrofracti fructus (lada hitam) dan royal jelly,” katanya.

Lebih lanjut Hadi memgungkapkan, pengembangan obat herbal fitofarmaka masih sangat sedikit di Indonesia, karena terdapat sejumlah tantangan terkait sumber daya alam tumbuhan yang belum dikelola secara optimal, biaya riset yang besar dan proses riset yang panjang, serta harga jual produk herbal yang seringkali lebih mahal dari produk kimia.

“Namun, seiring dengan adanya Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan dan dibentuknya satgas Percepatan Pengembangan dan Peningkatan Pemanfaatan Jamu dan Fitofarmaka oleh Badan POM, hal ini diharapkan pengembangan obat fitofarmaka di Indonesia bisa kian terarah dan dapat dilakukan secara massif,” papar Hadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Triwulan II-2014, Ijin Prinsip PMA di Jatim Mencapai Rp 67,7 T

SURABAYA-Gubernur Jatim, Soekarwo terus berupaya meyakinkan para investor untuk terus

BTN Gandeng PN Jaksel Resmikan E-Panjar

JAKARTA-Direktur PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Nixon L. P.