Hendardi: Komnas HAM Terpancing Genderang 51 Pegawai KPK Nonaktif

Thursday 10 Jun 2021, 7 : 03 pm
by
Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi

JAKARTA-Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi menilai pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN bukan saja tidak tepat tetapi juga berkesan mengada-ada.

Lembaga pembela HAM ini justru terpancing irama genderang yang ditabuh 51 pegawai KPK yang tidak lulus Test Wawasan Kebangsaan (TWK) yang jumlahnya kurang dari 5,4 % pegawai KPK.

Hendardi menegaskan,  TWK yang diselenggarakan KPK melalui vendor BKN dan beberapa instansi terkait yang profesional adalah semata urusan administrasi negara  yang masuk dalam lingkup hukum tata negara (HTN).

Hal ini merupakan perintah UU dalam rangka alih tugas pegawai KPK menjadi ASN.

“Karena itu, jika ada penilaian miring atas hasil TWK ini mestinya diselesaikan melalui hukum administrasi negara, bukan wilayah hukum HAM, apalagi pidana,” terangnya.

Menurutnya, pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN ingin mengesankan seolah ada aspek pelanggaran HAM yang terjadi.

Semestinya Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi dimana ada dugaan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN.

“Analoginya,  jika misalkan ada mekanisme seleksi untuk pegawai Komnas HAM dan kemudian ada sebagian kecil yang tidak lulus apakah mereka bisa otomatis mengadu  ke  Komnas HAM dan langsung diterima dengan  mengkategorisasi sebagai pelanggaran HAM?,” ujarnya dengan nada tanya.

Padahal lazimnya, dalam setiap pengaduan ke Komnas HAM diperlukan mekanisme penyaringan masalah dan prioritas yang memang benar-benar memiliki aspek pelanggaran HAM.

Hal ini penting agar Komnas HAM tidak dapat dengan mudah digunakan sebagai alat siapapun dengan interes apapun.

Untuk itu, dia berharap Komnas HAM harus tetap dijaga dari mandat utamanya sesuai UU untuk mengutamakan menyelesaikan dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights).

“Dalam persoalan alih status menjadi ASN dimanapun, sangat wajar jika Pemerintah menetapkan kriteria-kriteria tertentu sesuai amanat UU,” terangnya.

Karena untuk menjadi calon pegawai negeripun memerlukan syarat-syarat tertentu termasuk melalui sejumlah test antara lain tentang kebangsaan.

Menjadi ironi ketika di berbagai instansi negara lainnya untuk menjadi calon ASN maupun menapaki jenjang kepangkatan harus melewati berbagai seleksi termasuk TWK, namun ada segelintir pegawai KPK yang tidak lulus (kurang dari 5,4%) yang menuntut diistimewakan.

“Dalam konteks seleksi ASN memang bisa saja pelanggaran terjadi. Misalnya  seseorang tidak diluluskan (dicurangi/diskriminasi) atau karena  tidak dipenuhi hak-haknya ketika diberhentikan dari pekerjaannya (pelanggaran HAM). Tapi tentu harus dibuktikan dengan data yang valid,” ulasnya.

Karena itu, Hendardi meminta agar polemik dan manuver politik pihak yang tidak lulus TWK ini dihentikan.

Alasannya tidak produktif dan tersedia mekanisme hukum PTUN untuk memperjuangkan aspirasi mereka.

“Demikian pula seyogyanya lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dll tidak mudah terjebak untuk terseret dalam kasus yang kendati cepat populer tapi bukan merupakan bagian mandatnya dan membuang-buang waktu,”pungkasnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

PSP4 Eksekusi Kajian Integrasi IKN dan KTI Melalui Konsep Terusan Sulawesi

JAKARTA-Belakangan ini banyak persepsi bahwa Pulau Sulawesi akan menjadi kawasan

Ini Strategi Pemerintah Kejar Pertumbuhan Ekonomi 5,3% di 2020

JAKARTA – Pemerintah telah memetakan strategi dan langkah prioritas yang akan