Ketua Satgas Agraria HKTI Ungkap 5 Pemicu Konflik Agraria

Sunday 2 Oct 2022, 6 : 39 pm
by
Ketua Satgas Agraria DPP Himpunan Keurukunan Tani Indonesia (HKTI ), Doddy Imrom Cholid

JAKARTA-Ketua Satgas Agraria DPP Himpunan Keurukunan Tani Indonesia (HKTI ), Doddy Imrom Cholid mengungkap 5 pemantik konflik agraria yang di Indonesia.

Salah satunya, ketimpangan  struktur penguasaan tanah.

Hal ini ditegaskannya disela-sela Webinar dengan Tema Penyelesaian Konflik Agraria Antara Petani dan Perkebunan di Jakarta, Jumat 30 September 2022.

Webinar ini menghadirkan nara sumber Ir. Doddy Imron Cholid (Ketua Satgas Agraria HKTI), Rudi Rubijaya,SP,MSc (Kepala Kanwil BPN/ATR Banten), Dr Muhamad Rifqinizamy Karsayuda,SH,LLM anggota Komisi II DPR RI yang juga Ketua DPD HKTI Kalimantan Selatan.

Hadir pula DPD dan DPC HKTI serta beberapa Kanwil dan Kantor BPN Indonesia.

Dalam paparannya, Ir. Doddy Imron Cholid mengatakan  salah satu dampak ketimpangan  struktur penguasaan tanah adalah konflik Agraria. Seperti diketahui luas Indonesia  190 juta hektar.

Sekitar 70 persen atau 120  juta hektar adalah kawasan hutan dan sisanya 30 persen merupakan Areal Penggunaan Lainnya (APL).

Sisi lain, setiap tahun manusia terus bertambah sementara tanah relatif tidak bertambah.

Akibatnya kebutuhan tanah setiap tahun meningkat karena pertumbuhan penduduk  sehingga tanah menjadi barang  yang langka karena ketersediaan tanah terbatas.

Menurutnya, jika luas kawan hutan masih terus dipertahankan sebesar 70 persen maka dikhawatirkan ke depan akan terjadi konflik konflik  pertanahan seperti yang dirasakan saat ini.

“Peserta sepakat sebaiknya kawasan hutan ini dikurangi karena ada penggunaan non hutan seperti kampung, sawah, kebun, tambang dan usaha-usaha pertanian lainnya yang sebaiknya dikeluarkan saja dari kawasan hutan agar ketimpangan struktur penguasaan tanah ini terselesaikan dan semua petani punya tanah dan sejahtera,” ujar Doddy.

Dalam Webinar Doddy juga menguraikan, penyebab konflik masyarakat petani dan perkebunan:

Pertama, klaim masyarakat bahwa tanahnya tidak pernah dibebaskan sejak zaman Belanda.

Ketika diterbitkannya UU Agraria tahun 1850 yang membuat hak atas tanah tanpa pembebasan tanah petani.

Pada saat memasuki zaman kemerdekaan dengan diterbitkannya HGU maka petani protes kenapa tanahnya dimasukan di dalam  HGU.

Akibatnya terjadi konflik.

“Penyelesain konflik seperti ini harus dibarengi dengan kekompakan para petani dan data datanya harus  jelas dan peta yuridis.  Dengan musyawarah dan mediasi konflik bisa diselesaikan dan tidak lagi diselesaikan melalui pengadilan. Kita sepakat penyelesaian konflik pertanahan melalui jalur mediasi,” jelas Doddy.

Kedua, Hak Guna Usaha (HGU) ditelantarkan. Akibatnya tanah yang terlantar itu diduduki oleh masyarakat petani, Perusahaan dan masyarakat berkonflik .

Solusinya banyak dilakukan dengan menetapkan tanah terlantar menjadi tanah negara yang kemudian didistribusikan kepada rakyat dengan jalan mediasi  antara perusahaan dan masyarakat.

Ketiga, konflik terjadi karena keberadaan tanah-tanah adat.

Biasanya tanah adat tidak ada batas yang jelas, sehingga antara perusahaan dan masyarakat adat terjadi konflik.

Makanya harus diselesaikan melalui mediasi dengan mengikutsertakan sebagai peserta Plasma.

Keempat, konflik yang terjadi dalam kegiatan inti dan plasma.

Padahal sesuai Permentan dan Peraturan Presiden No. 86 /tahun 2018 bahwa setiap permohonan hak, perpanjangan hak dan pembaruan hak maka perusahaan harus wajib memberikan 20 persen kepada petani dan hanya diberikan sebesar 2 persen atau 3 persen saja.

Kalau perusahaan keberatan maka harus dicarikan tanah yang baru di lokasi yang lain.

Harus disepakati antara petani dan perusahaan.

“Yang penting masyarakat diberikan plasma sebesar 20 persen dari luas arealnya,” tegas Doddy.

Yang terakhir, untuk mempermudah penyelesaian konflik agraria disarankan agar BPN diberikan kewenangan artibutif untuk penyelesaian Pro Justicia.

Sehingga ada penegakan hukum oleh BPN kalau terjadi pelanggaran hukum.

Sehingga ada penegakan hukum yang langsung dilakukan oleh Kementerian Agraria/BPN.

“Kita harapkan semua saran dan tanggapan dalam webinar ini terutama masukan-masukan dari dari daerah terkait konflik agraria antara petani dan perkebunan akan kita tindaklanjuti dengan mengirimkan data teknis dan yuridisnya untuk dipelajari dan kemudian akan kita bantu penyelesaiannya ,“ pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Aspira-SMK Sales Award 2018, Astra Otopart Dukung Revitalisasi Kompetensi Siswa SMK

JAKARTA-PT Astra Otopart menggelar kompetisi kompetensi keahlian pemasaran terbesar yang

Segera Dilelang, Proyek Jalan Selatan Mookervart Senilai Rp7,8 Miliar

TANGERANG–Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang menegaskan proyek pembangunan jalan sisi selatan