Lembaga Peradilan Menjadi Momok Menakutkan

Monday 17 Jan 2022, 5 : 47 pm
Di dalam hukum pidana, perbuatan memasukan keterangan tidak benar ke dalam suatu Perjanjian atau Dokumen atau Akta Otentik, dikualifikasi sebagai tindak pidana
Koordinator TPDI dan Advokat PERADI, Petrus Selestinus

Oleh: Petrus Selestinus

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak, Kalimantan Barat, pada tanggal 13 Januari 2022 lalu telah menjatuhkan Vonis terhadap seorang Terdakwa dalam kasus perusakan Masjid Miftahul Huda yang dibangun oleh kelompok umat Muslim Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempuak, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat.

Ironisnya vonis yang dijatuhkan hakim sangat ringan.

Sebelumnya pada hari Kamis, tanggal 6 Januari 2022, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak, telah membacakan Vonis pertama, kepada 22 Terdakwa, dengan pasal Dakwaan melanggar pasal 160 KUHP bagi 3 (tiga) orang terdakwa tentang kejahatan menghasut sedangkan 19 (sembilan belas) Terdakwa lainnya divonis dengan pidana melanggar pasal 170 ayat(1) KUHP, yaitu melakukan kekerasan secara bersama sama terhadap orang atau barang.

Yang mengherankan dari proses hukum pada peristiwa pidana yang didominasi oleh tindakan kekerasan atas dasar Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) dan mengganggu posisi negara sebagai penjamin kemerdekaan bagi tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu, hanya dikenakan pasal Tindak Pidana biasa.

Yaitu pasal 160 dan pasal 170 ayat (1) KUHP dengan vonis ringan hanya 4 bulan 15 hari pidana penjara.

Ini jauh dari rasa keadilan masyarakat dan tidak memberi efek jera apapun bagi pelaku.

MERENDAHKAN WIBAWA HUKUM

Sebagai sebuah lembaga Peradilan yang berpijak pada UUD’ 1945, maka Penyidik Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim, seharusnya mengkonstruksikan kasus pengrusakan Masjid Miftahul Huda dan pembakaran rumah warga Komunitas Muslim Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, di Kecamatan Tempuak, Kabupaten Sintang, sebagai peristiwa pidana atau kejahatan SARA.

Dasar hukumnya adalah ketentuan UU No.40 Tahun 2008,Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No. 39 Tahun 1999, Tentang HAM dan pasal 82A jo. pasal 59 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas di samping pasal 160 dan pasal 170 ayat (1) KUHP, karena beberapa Ormas sesungguhnya telah melakukan tindakan yang menjadi wewenang aparat Penegak Hukum dalam kejahatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan SARA.

Proses penyidikan dan penuntutan yang syarat kompromi bahkan konspiratif, telah merendahkan wibawa hukum, kedaulatan negara dan prinsip negara hukum, karena dalam peristiwa pidana atau kejahatan SARA, mereka mengkonstruksikan menjadi peristiwa pidana biasa dengan menerap- kan pasal sangkaan dan dakwaan melanggar pasal 160 dan pasal 170 ayat (1) KUHP demi mengabaikan kejahatan SARA dan HAM.

Ini jelas merupakan sebuah model konspirasi dalam penegakan hukum dengan menerapkan pasal-pasal yang tidak ada korelasinya dengan substansi peristiwa pidana yang terjadi yaitu adanya tindakan permusuhan oleh sekelompok Orang atau Ormas terhadap sekelompok masyarakat lainnya atas dasar suku, agama, ras atau golongan secara brutal dan sewenang-wenang dengan mengambialih wewenang penegak hukum.

SEJUMLAH UU HANYA JADI PAJANGAN

Tindakan sekelompok Masyarakat (Ormas) berupa merusak bangunan, mengancam keselamatan nyawa manusia dan secara melawan hukum meniadakan hak atas kebebasan komunitas Muslim Ahmadiyah dalam menjalankan Ibadah agama dan kepercayaannya itu, seharusnya kepada mereka diperhadapkan dengan ancaman pidana berat seperti dimaksud dalam pasal 82A UU No.16 Tahun 2017 Tentang Ormas, berupa pidana penjara maksimum 20 (dua puluh) tahun, UU No. 39, Tahun 1999, Tentang HAM dan UU No.40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Dalam kasus ini, aparat penegak hukum seolah-olah alergi dan gamang ketika berhadapan dengan kasus-kasus SARA.

Sehingga dalam penegakan hukumnya nampak memberi angin segar kepada kelompok pelaku, berupa penerapan pasal pidana biasa, dituntut dan divonis dengan  pidana ringan, dengan mengabaikan pasal pelanggaran UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU HAM, UU Ormas dan UU Penodaan Agama.

Vonis kasus kekerasan atas sekelompok Masyarakat atas nama agama terhadap kelompok Masyarakat yang berbeda keyakinan keagamaan (minoritas) atau kasus-kasus penodaan agama terhadap agama minoritas, dengan vonis penjara ringan dalam kasus Terdakwa Yahya Waloni dan kasus Masjid Ahmadiyah Sintang, memperlihatkan betapa negara belum bersikap adil dan bijaksana terhadap kelompok agama minoritas di negeri ini.

NEGARA INGKARI KOMITMENNYA

Negara justru berada dalam posisi mengingkari komitmennya, dimana negara baru bisa menjamin kebebasan warga negaranya untuk memeluk agama dan kepercayaannya, tetapi negara belum bisa memberikan jaminan atas kemerdekaan untuk menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannyaannya itu, seperti pada kejahatan persekusi, intoleransi dan tindakan vigilante masih terus terjadi terhadap kelompok agama minoritas.

Padahal konstitusionalitas jaminan atas kebebasan unuk memeluk agama dan kepercayaan itu setara dengan jaminan atas kemerdekaan melaksanakan ibadah agama dan kepercayaannya itu.

Tidak ada gunanya jika negara hanya menjamin warganya untuk bebas memeluk agama dan kepercayaan tetapi negara abai memberikan jaminan kemerdekaan bagi warganya untuk menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya itu.

Pasal 29 UUD’ 45 ayat (2) menyatakan bahwa : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayannya itu.

Penjatuhan hukuman yang jauh dari rasa keadilan publik terutama para korban dalam kasus SARA, merupakan pertanda buruk dimana sejumlah aparatur di dalam Lembaga Peradilan (Penyidik Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim) diduga telah terpapar ideologi intoleran dan radikal.

Indikatornya adalah pada sikap memihak dan toleran Para Hakim terhadap pelaku kejahatan SARA, Intoleran dan Vigilante selama proses hukum, sebagaimana terbukti dari vonis ringan pelaku Kejahatan SARA di Sintang dan Kejahatan Ujaran Kebencian terhadap terdakwa Yahya Waloni yang hanya divonis 5 (lima) bulan penjara.

Penulis adalah Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara (PEREKAT NUSANTARA) di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Tingkatkan Kerja Sama Ekonomi, Pakistan-Indonesia Business Council Diresmikan di Kadin Indonesia

JAKARTA-Menteri Luar Negeri Pakistan, Dr. Asad Majeed Khan menyaksikan penandatanganan

Presiden Jokowi Ingin Dubes Berperan Sebagai Duta Ekspor

JAKARTA-Persoalan defisit neraca perdagangan telah dialami oleh Indonesia selama bertahun-tahun.