Hal ini memunculkan pandangan bahwa MK seakan menjadi “mahkamah keluarga” yang memberikan perlakuan istimewa kepada Gibran yang maju sebagai calon wakil presiden dari kubu Prabowo.
Saat kita berbicara tentang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), penting untuk mempertimbangkan apakah MK telah melampaui batas kewenangannya.
Secara ideal, MK seharusnya hanya memiliki kewenangan untuk menguji apakah suatu peraturan bertentangan dengan konstitusi atau tidak.
MK bukan lembaga yang seharusnya membuat norma baru, yang seharusnya menjadi tugas dari pembuat undang-undang (DPR).
Kita juga perlu memahami bahwa ketentuan usia minimum 40 tahun bukanlah keputusan yang diambil dengan sembarangan.
Ini melibatkan perhitungan, alasan hukum yang mendasarinya, serta pertimbangan yang mendalam dari pembuat kebijakan dan anggota DPR pada saat itu.
MK telah menolak untuk menurunkan batas usia minimal, namun, mereka mencoba mengakalinya dengan menambahkan persyaratan baru, yaitu “pernah menjabat sebagai kepala daerah,” yang jelas bukan menjadi kewenangan MK.
Salah satu dampak terberat dari putusan MK adalah kredibilitas lembaga tersebut sebagai penjaga konstitusi akan digugat dan dipertanyakan.
Ketika putusan MK yang diharapkan memulihkan kepercayaan publik justru dianggap merusak kualitas demokrasi, kita harus menghadapi realitas bahwa lembaga ini telah berubah menjadi alat untuk membangun dinasti politik.
Sebagai masyarakat yang peduli terhadap perkembangan demokrasi, kita harus terus memantau perkembangan ini dan mendorong reformasi yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat dan adil.