JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar Sidang Perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU) Presiden atau sengketa Pilpres 2024 Rabu, 27 Maret 2024.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus meminta rakyat Indonesia mengawal posisi MK dan 8 hakim konstitusi.
Pasalnya, lembaga penjaga konstitusi itu dalam keadaan tidak merdeka. Sebab, masih ada faktor Anwar Usman yang diduga masih cawe-cawe di MK.
Selain itu, juga masih ada faktor keterikatan hakim konstitusi pada putusan 90/PUU-XXI/ 2023, tanggal 16 oktober 2023.
Sehingga posisi 8 hakim konstitusi ini berada dalam keadaan terbelenggu nalar.
Situasi ini menjadi ancaman terhadap kemandirian dan kebebasan hakim dalam memutus sengketa pilpres tetap ada.
“Karena itu, saya kira, masyarakat perlu mengawal dan menjaga 8 hakim konstitusi, agar jangan main-main dengan “kedaulatan rakyat” yang disalurkan lewat pemilu pada setiap 5 tahun sekali,” ujarnya.
“MK tidak boleh hanya sekedar mengambil alih peran pemilu sebagai sarana kedaulatan rayat, terlebih-lebih karena saat ini MK berada dalam cengkraman dinasti politik dan nepotisme Jokowi,” jelasnya.
Karena itu, tega Petrus yang juga Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara ini, MK harus menjadikan pemeriksaan terhadap sengketa pilpres 2024, sebagai momentum untuk mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemilu.
Apalagi, legitimasi kepemimpinan nasional lewat pemilu yang luber dan jurdil, adalah amanat UUD 1945 yang harus dilaksanakan.
Saat ini jelas Petrus, posisi MK telah dirusak oleh nepotisme Jokowi.
Ini terbukti lewat putusan MK No. : 90/PUU-XXI/ 2023 dan Putusan MKMK No.2/ MKMK/L/ARLTP/10/2023, tanggal 7 oktober 2023.Namun dinasti politik dan nepotisme Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Anwar Usman masih tetap ada.
Terbukti adanya gugatan Anwar Usman kepada Ketua MK dan 8 Hakim Konstitusi di PTUN Jakarta.
Karena itu, rakyat Indonesia dan 8 Hakim Konstitusi yang ada saat iniharus dijaga.
Sebab, mereka masih dilanda perasaan traumatis.
Pasalnya, dinasti politik dan nepotisme Jokowi masih ada di MK.
“Posisi MK dan 8 Hakim Konstitusi saat ini tersandera sebagai tergugat di PTUN Jakarta, akibat ganasnya dinasti politik dan nepotisme Jokowi,” pungkasnya.