Oleh: Lucius Karus
Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)
Peristiwa penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Selasa (13/8) malam menambah deretan pejabat publik yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Terus bertambahnya jumlah koruptor serentak menggugat proggres pemberantasan korupsi yang di ruang publik nampaknya menjadi isu yang tidak pernah sepi. Publik kembali tercenggang seakan korupsi tidak pernah habisnua di republic ini. Bahkan, penangkapan pelaku korupsi sudah menjadi semacam rutinitas di negeri ini. Setiap peristiwa penangkapan itu diberitakan media secara besar-besaran. Sayangnya semua publikasi tersebut tak signifikan mempengaruhi berkurangnya pelaku korupsi. Perilaku korupsi tumbuh terus bak jamur di musim hujan. Entah berapa puluh orang pejabat di Negara ini yang terjaring KPK. Namun,rupanya tidak ada efek jera sedikitpun.
Gugatan terutama harus dialamatkan kepada KPK dan juga para hakim Tipikor. Bagaimana mereka menjelaskan usaha pemberantasan korupsi yang menghabiskan anggaran cukup besar seperti tak mencapai hasil? Alih-alih menimbulkan efek jera untuk korupsi, kita malah disuguhkan berita koruptor baru setiap waktu. Para pejabat anti-korupsi ini harus menjadikan penangkapan koruptor baru Rudi Rubiandini sebagai bahan untuk merefleksikan pentingnya keberadaan mereka. Terus munculnya korupsi baru juga disebabkan oleh lemahnya sanksi yang diberikan oleh pengadilan, yang membuat orang tidak perlu terlalu risau jika melakukan korupsi. Pengadilan kita masih terlalu permisif atas nama kemanusiaan universal dalam memberikan sanksi hukum bagi koruptor. Jika hukuman bagi koruptor masih ringan, maka korupsi bukan tindakan menakutkan yang pantas dijauhkan oleh para pejabat publik.