Selesaikan Masalah Minyak Goreng Tanpa Menimbulkan Polemik Baru

Sunday 1 May 2022, 6 : 53 pm
by
Emrus Sihombing adalah Komunikolog Indonesia

Oleh: Emrus Sihombing

Baru-baru ini, sebagai contoh, kebijakan minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) tidak termasuk komoditas dalam larangan ekspor.

Tidak lama kemudian, bahkan masih termasuk hitungan jam, pemerintah meralat, bahwa CPO juga termasuk ikut dilarang.

Dari unsur komunikasi, setiap kebijakan pemerintah, merupakan unsur pesan komunikasi.

Ketika kebijakan pemerintah berubah dari satu kutub ke kutub komunikasi yang berseberangan, seperti diperbolehkan ekspor menjadi dilarang ekspor, maka sangat berpotensi semakin menggerus kepercayaan publik kepada pemerintah.

Karena itu, kredibilitas source (sumber) dan pesan dari pemerintah bisa terganggu dan cenderung ke arah menurun (negatif).

Perbedaan kebijakan tersebut, menurut hemat saya, boleh jadi belum melalui proses pembicaraan serius, bahasan dan pengkajian secara holistik dan mendalam di internal pemerintah dari aspek kredibilitas unsur-unsur komunikasi yaitu sumber, pesan, saluran, khalayak dan efek yang mungkin terjadi.

Ini sebagai fenomena dan petunjuk konkrit bahwa komunikasi publik pemerintah masih lemah dan belum berubah.

Dari unsur materi pesan komunikasi, misalnya, perlu menggali data berapa sesungguhnya kemampuan produksi minyak goreng yang bersumber dari kelapa sawit.

Kemudian, dibandingkan dengan berapa volume kebutuhan dalam negeri.

Atas dasar tersebut bisa ditetapkan kebijakan distribusi dan pengawasan ketat di lapangan sehingga tidak terjadi penimbunan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.

Selain itu, masih dalam unsur pesan komunikasi, perlu dikaji berapa kewajiban negara kita sesuai dengan WTO dalam memenuhi kebutuhan dunia terkait dengan minyak goreng.

Jadi, harus ada sinkronisasi materi pesan antara kebutuhan dalam negeri dan kewajiban sesuai dengan WTO. Sebab, negeri kita sebagai bagian dari WTO.

Lemahnya komunikasi publik pemerintah ini bukan kali pertama.

Salah satu diantaranya komunikasi publik pemerintah termasuk kategori jelek terkait dengan Omnibus Cipta Kerja.

Persoalan masih lemahnya komunikasi publik pemerintah ini.

Dengan segala kerendahan hati, saya sebagai komunikolog berpendapat, merupakan konsekuensi dari belum munculnya kesadaran baru dari pemerintah kita bahwa betapa pentingnya pengelolaan komunikasi publik bagi sebuah rezim pemerintahan yang dipilih melalui proses demokrasi, seperti negeri kita.

Di luar unsur komunikasi tersebut di atas, yang tak kalah pentingnya, pemerintah perlu melakukan kajian kemungkinan pengaruh kartel pengelolaan kelapa sawit sebagai kelompok kekuatan politik di dalam maupun di luar pemerintah.

Jadi, negeri ini harus belajar menyelesaikan masalah minyak goreng ini tanpa menimbulkan masalah baru di dalam negeri maupun terkait dengan WTO.

Penulis adalah Komunikolog Indonesia di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

MAMI Dinobatkan Sebagai Manajer Investasi Terbaik 

JAKARTA-PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (“MAMI”) kembali menerima pengakuan sebagai

Postur RAPBN 2015 Harus Dibongkar

JAKARTA-Postur RAPBN 2015 yang saat ini dirasa sangat berat bagi