Praktik ini dilakukan menggunakan pertemuan tertutup yang disebut ‘Green Room’. Biasanya dalam pertemuan inilah tukar guling dan lobby-lobby dilaksanakan.
“Isu subsidi pertanian juga terus-menerus merugikan negara miskin dan berkembang,” tambah Achmad Yakub dari Yayasan Bina Desa.
Pertanian negara maju disubsidi ratusan milyar dollar—sementara petani negara miskin dan berkembang sangat berat untuk maju.
“Lihat contohnya jika produk pertanian kita: kedelai misalnya, harus bersaing dengan kedelai impor dari Amerika. Sulit sekali–karena kedelai mereka overproduksi dan disubsidi besar-besaran untuk ekspor,” terangnya.
Ketiga, WTO mengancam hak atas pangan.
Adalah kewajiban negara untuk memenuhi hak atas pangan rakyatnya agar tak kelaparan, kekurangan gizi.
Namun di dalam WTO, subsidi negara miskin dan berkembang dibatasi de minimis 10% dan peace clause Paket Bali.
“Jadi kewajiban negara untuk menyantuni rakyat miskin, lapar malah dibatasi,” ujar Ridwan Darmawan.
Keempat, WTO, juga FTA, TPP, mengancam sektor pertanian.
Sektor pertanian masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintahan Jokowi-JK.
Kapasitas dan produk petani kecil Indonesia masih butuh bantuan dan insentif untuk berkembang.
Jalan ke kedaulatan pangan rakyat masih panjang.
“Sementara menurut perjanjian WTO, akses pasar negara miskin dan berkembang terus dipaksa terbuka oleh Trade Facilitation,” kata M. Nuruddin, Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia.
Hal ini menyebabkan pertanian kita tidak akan maju-maju.