Dimensi Permufakatan Jahat, TPDI: Perlu Pengembangan Peran Azis Syamsuddin dan Robin

Friday 4 Jun 2021, 6 : 02 pm
by
Hotman Paris Hutapea maupun Babeh Aldo, layak dimintai pertanggungjawaban pidana bersama dr. Lois Owen
anggota Advokat Perekat Nusantara, Petrus Selestinus

JAKARTA-Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus mengatakan pengembangan peran Azis Syamsuddin dalam kasus suap penyidik KPK, AKP Stepanus Robin Pattuju (Robin).

Hal ini sangat penting, karena banyak dimensi yang harus diungkap tuntas.

Salah satunya, aksi jahat Azis Syamsuddin mengendalikan Penyidik KPK.

“Ada dimensi permufakatan jahat, ada dimensi pemberi dan penerima suap dan ada dimensi merintangi penyidikan dan ada dimensi melanggar larangan Penyidik bertemu pihak yang sedang berperkara,” tegas Petrus di Jakarta, Jumat (4/6).

Sebelumnya, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) memutuskan AKP Stepanus Robin Pattuju bersalah melanggar Etika dan dijatuhi sanksi Pemberhentian dengan tidak hormat dari Penyidik KPK.

Perkara ini diputuskan dalam dalam persidangan Etik pada 31 Mei 2021 lalu.

Sejumlah fakta memcengangkan terungkap dalam sidang Etik terperiksa  Robin.

Salah satunya soal pemberian suap yang dilakukan oleh Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin (pemberi) kepada terperiksa Robin untuk mengawasi Saksi Aliza Gunado dalam perkara korupsi di Lampung Tengah yang ditangani KPK.

Ini berarti tugas Dewas KPK diambil alih  Azis Syamsuddin dengan mengupah Robin untuk memantau Saksi Aliza Gunado di KPK, diungkap Dewas KPK dalam putusan Sidang Etik.

Fakta ini disertai pengakuan  Azis Syamsuddin memberikan uang kepada Robin sebesar Rp 3,15 Miliar sebagai jasa untuk memantau salah seorang saksi bernama Aliza Gunado di KPK, dalam kasus korupsi lain di Lampung Tengah.

Untuk itu kata Petrus, perlu dilakukan pengembangan dalam kasus ini.

Sebab fakta lain terungkap dalam sidang Dewas KPK, adalah, terperiksa Robin juga menerima uang dari beberapa pihak dari beberapa kasus lain, termasuk uang dari kasus eks Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari.

Namun tidak disebutkan apakah beberapa perkara itu, ada peran Azis Syamsuddin.

“Rangkaian  peristiwa  pidana  dengan dimensi yang berbeda-beda itu, menuntut tranparansi dan akuntanilitas dalam penyidikan dan penuntutan,” tegasnya.

Hal ini mengingat potensi terjadinya penanganan perkara secara tebang pilih atau model penangan perkara yang bertujuan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya, sangat mungkin terjadi.

DEWAS KPK PATUT DICONTOH

Lebih lanjut, Petrus mengapresiasi kinerja Dewas KPK.

Sebab, transparansi dan akuntabilitas yang diperlihatkan Dewas KPK dalam sidang Etik perkara Robin, berupa penjelasan secara terbuka kepada publik seluruh proses dan hasil sidang Etik, pertimbangan hukum yang diambil dan putusan sidang Etik, yang dipublish ke Media, menjadi sesatu hal yang sangat positif bagi publik dan bagi KPK.

“Selama ini proses dan hasil pemeriksaan Saksi/Tersangka tidak pernah dipublish.  Dewas KPK patut dicontoh,” tuturnya.

Petrus mangatakan beberapa fakta temuan Dewas KPK yang perlu dielaborasi oleh Penyidik dalam pemeriksaan terhadap Azis Syamsuddin nanti.

Misalnya, apakah Azis Syamsuddin juga bertindak sebagai perantara dalam transaksi suap yang diterima Robin dari beberapa pihak lain, seperti dari kasus eks Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari.

Elaborasi oleh penyidik jelasnya sangat penting untuk menggali dan memastikan berapa pasal tindak pidana korupsi yang telah dilanggar dalam peristiwa suap yang melibatkan Azis Syamsuddin dan Robin (samenloop/concursus idealis) dari satu peristiwa pidana.

Atau sebaliknya dari beberapa perisitwa pidana yang berdiri sendiri (concursus realis), yang secara kasat mata diungkap oleh Dewas KPK.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

PUPR Kembali Tunjuk BBTN Salurkan Kredit Perumahan Bersubsidi

JAKARTA-PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) kembali dipercaya oleh

Paska Kahar Muzakir Gagal Dilantik, Said: Situasi Komisi XI DPR Guyub dan Tenang

JAKARTA-Tarik menarik kepentingan di internal Golkar yang berbuntut gagalnya pelantikan