Idul Fitri dan Spiritualitas Baru

Selasa 19 Jun 2018, 9 : 36 pm
by
Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, MA

Mengapa manusia selalu diingatkan untuk kembali ke fitrah yang suci? Islam sangat optimis memandang manusia dan meyakini setiap individu dilahirkan dalam kondisi fitrah. Fitrah adalah suatu kesadaran mendalam akan keesaan Tuhan (tauhid) yang tertanam dalam lubuk hati (nurani) yang merupakan pusat kedirian manusia. Fitrah inilah yang membuat manusia memiliki kecenderungan alamiah mencari kebenaran, kedamaian dan kebaikan sehingga manusia disebut juga sebagai makhluk hanif (lurus).

Ditemukan cukup banyak ayat menegaskan, dalam hati nurani manusia telah dituliskan komitmen suci untuk selalu mengikuti kebenaran dan kebaikan. Tugas para Nabi dan Rasul hanyalah mengingatkan kembali akan komitmen suci tadi. Supaya selamat dan tidak melanggar komitmen, seharusnya setiap individu selalu mendengarkan hati nuraninya. Setiap bentuk penyimpangan dari komitmen tersebut adalah dosa, dan itulah mengapa manusia perlu bertobat.

Menarik dicermati, kata taubat dalam Bahasa Arab artinya kembali, kembali kepada fitrah. Manusia yang baik bukan karena tidak pernah menyimpang dari komitmen sucinya karena hal itu mustahil. Tidak ada manusia luput dari kesalahan dan dosa. Akan tetapi, manusia yang baik adalah jika menyimpang, dia segera sadar dan bertobat sambil bertekad tidak mengulangi kesalahan lagi (QS. Ali Imran, 3:135). Puasa Ramadhan dan segala amal saleh di dalamnya merupakan bentuk pertobatan manusia. Setelah sebulan berpuasa (tentu dengan memenuhi semua persyaratannya) seseorang dapat suci kembali, seperti sucinya seorang bayi yang baru lahir, demikian hadis Nabi.

Seharusnya dengan puasa umat Islam menjadi lebih meningkat kekuatan spiritualnya, dan itu harus tercermin dari perilaku sehari-hari dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Spiritualitas mendorong manusia selalu aktif melakukan upaya-upaya transformasi dan humanisasi, antara lain melalui kegiatan pendidikan dalam arti seluas-luasnya agar diri sendiri atau masyarakat semakin memahami agama secara kritis dan rasional. Hal itu dapat juga dilakukan melalui aktivitas pemberdayaan bagi kelompok lemah, miskin, rentan dan marjinal; dan juga aktif melakukan kegiatan advokasi terhadap kelompok tertindas; melawan semua bentuk kezaliman, ketidakadilan dan kekerasan, terutama dilakukan oleh kelompok yang berkuasa.

Ironisnya, dalam realitas sosiologis banyak orang mengaku berpuasa, tetapi tidak memiliki kesadaran spiritualitas. Indikasinya, mereka tidak memiliki kepekaan untuk melawan ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan, bahkan menjadi pelakunya. Mereka tidak tergerak untuk menghapus segala bentuk perilaku diskriminatif, eksploitatif dan kekerasan, juga tidak terpanggil untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan demi kemaslahatan orang banyak. Hal itu karena puasa dipahami sebatas ajaran bersifat ritual formal.

Kekuatan spiritual amat penting dalam diri manusia karena mendorong manusia selalu berbuat kebaikan dan kemashlahatan. Bahkan, juga mendorongnya untuk memperindah akhlak mulia secara terus menerus, serta membentengi diri dari semua perbuatan keji dan buruk yang berpotensi merusak eksistensinya, baik dalam relasi vertikal dengan Allah, maupun dalam relasi horizontal dengan sesama manusia, bahkan sesama makhluk, termasuk lingkungan sekitarnya.

Komentar

Your email address will not be published.

Don't Miss

Habiskan APBN Rp106,2 Miliar, PLBN Napan di NTT Ditargetkan Selesai April 2022

Selain PLBN Napan, pada tahun 2022 ini pemerintah juga melanjutkan

Kemenperin Dorong Produksi Laptop Dalam Negeri Melalui Kebijakan TKDN

JAKARTA-Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya untuk meningkatkan utilisasi dan pertumbuhan