“Sekarang ada 25.000 lubang tanam dan penghasilan minimal Rp 20 juta. Tapi Hidroponik susahnya di pemasaran, kualitas quality control harus bisa dipenuhi agar harga jual berlipat dari harga pasar, supaya bisa masuk resto hotel,” kisah Sandi.
Saat pandemi Covid-19, usaha Sandi semakin menanjak karena hidroponik menjadi disukai masyarakat sehingga permintaan produk tani hidroponik semakin meningkat.
Meski begitu, Sandi mengaku harus selalu disiplin dalam merawat bisnisnya.
“Panen sayur setiap subuh. Pemasaran langsung ke end user, tidak via tengkulak. Tidak pake proposal tapi langsung ke resto dan pembeli,” sebutnya.
Sandi pun menyebut pertanian hidroponik memiliki tantangan di pemasaran.
Saat ini ia mulai memasarkan hasil pertaniannya lewat jalur digital dan memilih pasar yang berbeda dengan petani tradisional.
“Kalau di pasar murah, harus tingkatkan value agar diterima di resto dan hotel. Kita ajukan proposal ke resto dan hotel, dan buat konten medsos sebagai digital marketing,” terang Sandi.
Kepada Puan, Sandi juga menyalurkan aspirasi yang dihadapi petani-petani milenial.
“Anak muda tidak punya dana atau lahan. Ini jadi faktor. Lahan-lahan milik kelurahan kalau bisa bagi hasil dengan petani yang usahanya jalan. Kelayakan bisa dicek bertingkat, melalui pemkot hingga pemprov,” usulnya.
Sementara itu, petani milenial lainnya bernama Khafidz mengaku berhasil mendapatkan omset Rp 40 juta dalam sebulan dari hasil hidroponik.
Ia pun berharap dapat mendapat bantuan dari Pemerintah dengan lebih efektif.
“Akses bantuan jangan selalu lewat poktan (kelompok tani), tapi juga ke individu yang terbukti bagus bisa diberikan juga. Karena untuk yang tidak punya kelompok agak susah jadinya,” kata Khafidz.
Puan menyatakan siap menyalurkan aspiradi para petani muda ini kepada pihak Pemerintah.
Dalam acara tersebut, Puan juga diminta mengukuhkan Duta Wiramuda (wakil gerakan wirausahawan dan wirausahawati muda) Semarang dengan pengalungan selendang.