Menimbang Mencetak Uang

Wednesday 29 Apr 2020, 10 : 13 am
by
Ketua Banggar DPR RI, yang Juga Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian, MH Said Abdullah

Karena, pada saat yang sama, Bank Indonesia juga menaikkan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 bps untuk Bank Umum Konvensional dan sebesar 50 bps untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah per tanggal 1 Mei 2020.

Sehingga, menyebabkan sektor perbankan menjadi tidak memiliki kelonggaran dalam mengatur likuiditasnya.

Menimbang Mencetak Uang

Gagasan untuk mencetak uang (printing money) atau dikenal dengan istilah Quantitative Easing, bukanlah hal yang baru. Sudah banyak negara melakukannya untuk menopang kebijakan moneter longgar yang sedang dijalankannya.

Bahkan Pemerintah sendiri, pernah beberapa kali melakukan kebijakan yang tergolong kedalam Quantitative Easing.

Kebijakan ini bisa dilakukan untuk membeli Surat Utang Negara/SBSN atau meminjamkan bantuan pada perbankan yang menghadapi masalah dalam likuiditasnya, sehingga jumlah peredaran uang (money supply) bisa meningkat.

Pilihan lain, Bank Indonesia bisa melakukan cetak uang dengan tetap mengacu pada kebijakan yang prudent dan terukur.

Sebab bila Bank Indonesia menjalankan instrument membeli SUN/SBSN repo dari bank dengan bunga 2% dan memberikan bantuan pada perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas dalam jangka waktu tertentu, masih ditambah mengguyur dengan mencetak uang, maka tekanan inflasinya akan sangat tinggi.

Sebagai Negara emerging market, Indonesia tidak memiliki cadangan devisa (cadev) yang tidak begitu besar dibandingkan dengan tetangga.

Akhir 2019 lalu cadev kita 129,2 miliar USD, Thailand mencapai 221 miliar USD, dan Singapura 292 miliar USD. Jadi cadev bukanlah senjata utama membantu likuiditas.
Melihat kebutuhan yang mendesak tersebut, Bank Indonesai bisa mencetak uang sekitar Rp400-600 Triliun.

Dengan demikian, sektor perbankan dan UMKM, akan bisa sedikit bernafas lega dalam mengatur likuiditasnya dan kredit yang dimilikinya.

Kebijakan Cetak Uang tersebut, bisa digunakan oleh BI untuk membantu program pembiayaan dan restrukturisasi perbankan nasional yang tengah mengalami kesulitan likuiditas dan program non perbankan lainnya, khususnya untuk membantu restrukturisasi kredit dan permodalan sektor UMKM.

Pada Februari 2020 uang beredar tercatat Rp 6.116,5 triliun atau tumbuh 7,9% (year on year/ yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 7,1% (yoy).

Bila Bank Indonesia mencetak uang sejumlah Rp. 600 triliun, maka ada pertumbuhan uang beredar sebesar 9,8% sejak Februari.

Mencetak uang dengan yield sebesar 2-2,5 persen menurut saya sudah harus memperhitungkan angka inflasi yang akan ditimbulkannya.

Namun kebijakan ini tetap berada dalam koridor Independensi Bank Indonesia. Artinya biaya operasi moneter Bank Indonesia tersebut tidak boleh dibebankan kepada Pemerintah.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Paska Putusan MK, Industri Rokok Berjalan Sesuai Aturan Umum

JAKARTA-Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memberikan tanggapan terkait Putusan Mahkamah Agung no.

Jokowi:Uang APBD Jangan Simpan di Bank

JAKARTA-Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sangat berat sekali meskipun kondisi serupa juga