Pidato Politik Zulkifli Hasan: Demokrasi Transaksional dan Ketergantungan Impor Pangan

Thursday 15 Apr 2021, 9 : 14 pm
by
Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan

Assalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua.

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji dan syukur kita kepada Allah SWT. Dzat yang senantiasa menjaga, melindungi dan memberikan limpahan berkahNya untuk bangsa dan negara yang kita cintai ini.

Shalawat serta salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.

Saudara-saudaraku sekalian,

Saat ini kita baru saja memasuki bulan suci Ramadhan. Kita berharap Ramadhan tahun ini bisa kita lalui dengan baik, meski situasi pandemi belum juga berakhir dan kondisi perekonomian negara ini belum stabil.

Di bulan Ramadhan ini dan menjelang lebaran nanti, sudah menjadi kebiasaan kita mempersiapkan bahan makanan sekaligus aneka penunjangnya untuk menemani kebahagiaan kita di hari raya.

Kita tahu di tengah persiapan-persiapan itu, harga-harga bahan makanan pokok seperti beras, daging, ayam, telur, buah dan lainnya biasanya mengalami kenaikan.

Saya sangat berharap mudah-mudahan harga pangan dapat dikendalikan oleh pemerintah, sehingga tidak memberatkan masyarakat yang saat ini tengah mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi.

Jangan sampai ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan jangka pendek dengan menimbun barang, menahan pasokan, mempermainkan harga pasar. Semoga pemerintah juga lebih berpihak kepada para pedagang kecil, bukan bandar-bandar besar. Kepada masyarakat kecil, bukan kepada para pengusaha besar.

Saudara-saudaraku sekalian,

Ramadhan dan lebaran tahun ini tidak jauh dengan waktu panen raya nasional. Waktu baik yang seharusnya bisa memberikan keuntungan tersendiri untuk para petani.

Tapi sayang, di tengah suasana panen raya tersebut, ada pihak-pihak yang mengembuskan isu impor beras, membuat harga gabah anjlok dan petani terancam rugi.

Kita senang presiden segera merespons isu ini dan memastikan tidak ada impor beras hingga Juni 2021 mendatang, sebab stok cadangan beras nasional yang dikelola Bulog masih aman, tetapi sayang harga gabah sudah terlanjur terpengaruh akibat isu impor itu. Para spekulan menahan harga.

Mudah-mudahan situasi ini bisa segera dicarikan solusinya agar petani tidak terus dirugikan.

Persoalan impor beras ini sejatinya merupakan fenomena gunung es yang harus kita cari solusi mendasarnya dengan segera.

Persoalan impor tidak sesederhana yang dibayangkan, hanya sekedar memenuhi angka pasokan atau stok pangan kita.

Masalah ini sejatinya merupakan cermin dari ketidaksiapan kita dan carut marut aspek mendasar kebijakan dan ketahanan pangan nasional kita sendiri, padahal reformasi sudah berlangsung hampir 23 tahun.

Saya melihat hal yang sangat mendasar, yakni kelemahan dalam kebijakan pangan untuk petani.

Kebijakan pangan ke depan harus dapat memetakan dengan baik sistem pangan kita dan permasalahannya.

Perlu ada perencanaan yang sistematis dan terukur. Para petani harus didukung dengan teknologi terbaik, harga pupuk dikendalikan dan lebih berpihak kepada para petani itu.

Di samping itu, sistem pendukung kebijakan pangan juga harus bekerja di mana perusahaan-perusahaan BUMN ikut serta.

Bulog berperan sebagai penyangga dan pemerintah memiliki prioritas membeli padi dari petani lokal.

Jika ini dikerjakan dengan benar sesuai amanat undang-undang, sesungguhnya swasembada beras dan pengembangan produk pertanian lain bukanlah mimpi belaka untuk dicapai.

Jika sekarang belum terwujud, maka ada yang salah dari kebijakan pangan dan pertanian kita, sehingga bangsa ini dipenuhi oleh produk pertanian impor dari luar, yang mematikan petani lokal.

Saudara-saudaraku sekalian,

Sedih sekali melihat kenyataan saat ini kita menjadi salah satu negara yang pasokan berasnya relatif bergantung pada negara asing.

Padahal kita adalah negara agraris dengan potensi lahan yang sangat luas, dengan kekayaan alam yang tidak ada tandingannya.

Sayangnya kini justru petani kehilangan lahannya, jadi buruh di negara sendiri, indeks rasio gini lahan kita konon di kisaran angka 0,7 sampai 0,8.

Kasihan para petani yang kerap dirugikan akibat kebijakan yang salah ini.

Karena mereka terus merugi, akhirnya terpaksa menjual lahan dan berakhir menjadi buruh tani di lahan leluhur mereka sendiri.

Kebijakan impor pangan harus kita evaluasi secara serius dan mendasar karena ini menyangkut kehidupan dan kesejahteraan masayarakat luas.

Dalam dua dekade terakhir, sejak reformasi 23 tahun lalu, Indonesia cukup bergantung pada impor beras dari Vietnam, Thailand, Tiongkok, Pakistan, Taiwan, hingga Myanmar.

Kebijakan impor ini harus segera dievaluasi, diganti dengan kebijakan matang untuk mendorong produksi beras dalam negeri, hingga kita mencapai swasembada pangan bahkan mampu mengekspor beras dan hasil pertanian kita yang lain ke negara-negara luar.

Saat ini rata-rata harga beras di tengah masyarakat adalah Rp11.462 per kg, angka yang masih cukup tinggi dan sebenarnya bisa ditekan seandainya kita memiliki stok dan manajemen perdagangan komoditas yang lebih baik, yang pro terhadap rakyat kecil.

Adanya kesimpangsiuran informasi mengenai stok cadangan beras nasional harus segera ditangani dengan baik.

Perbedaan data antara Kementerian Perdagangan dan Bulog mengenai stok cadangan beras nasional cukup meresahkan.

Kemendag menyebut stok cadangan beras nasional tinggal 500.000 ton, padahal Undang-undang mengamanatkan 1 juta ton.

Sementara Bulog menyebut stok cadangan beras nasional hingga akhir april pasca panen raya diperkirakan cukup mencapai 1 juta ton.

Menurut data resmi yang dirilis pemerintah, Kementerian Pertanian memperkirakan produksi dalam negeri pada panen raya ini mencapai 17.511.596 ton. Jika ditambah dengan stok Desember tahun lalu yakni 7.389.575 ton.

Artinya estimasi stok beras hingga akhir Mei mencapai 24.901.792 ton.

Melihat data tersebut, seharusnya stok beras lebih dari cukup mengingat estimasi kebutuhan beras nasional sekitar 12 juta ton per tahun.

Saudara-saudaraku sekalian,

Sejatinya persoalan impor bukan hanya beras saja. Komoditas lain pun kita masih bergantung pada impor. Menurut data BPS tahun 2020, rata-rata per tahun kita mengimpor kedelai sebanyak 1,27 juta ton, bawang putih 587 ribu ton, daging sapi 84 ribu ton, gula pasir 2,59 juta ton.

Yang paling menyedihkan adalah impor garam sebanyak 2,9 juta ton.

Tentu ada yang salah dengan kebijakan impor-impor ini, apakah laut Indonesia kurang luas untuk menghasilkan garam? Apakah garam Indonesia kurang asin sehingga perlu digarami lagi dengan garam-garam impor?

Kebiasaan impor ini menunjukkan cara berpikir kebijakan yang bersifat jangka pendek belaka.

Seharusnya kita mulai fokus pada pemberdayaan petani lokal, meningkatkan kapasitasnya untuk mendorong produksi komoditas lokal.

Sistem distribusi komoditas nasional juga perlu segera kita benahi, para spekulan dan mafia harus segera diberantas.

Kasihan para petani dan rakyat. Selain kita juga malu menjadi negara dengan laut yang luas, daratan yang kaya, tetapi pangan dan komoditasnya masih bergantung pada negara lain.

Kita perlu segera mencapai swasembada dan memiliki ketahanan pangan yang mumpuni.

Lihatlah di supermarket-supermarket, buah dan sayur impor juga membanjiri pasar dalam negeri. Pada tahun 2019 nilai impor sayuran sebesar 770 juta USD.

Buah-buahan sebesar 1,4 miliar USD. Angka yang luar biasa besar.

Seandainya kita bisa menghentikan kebiasaan impor ini dan mulai mengalihkan sebagian dananya untuk mendorong reformasi dan revitalisasi industri pertanian kita, impian untuk memiliki lumbung pangan nasional (food estate) dan swasembada pangan akan tercapai.

Rakyat akan semakin sejahtera dan terbedayakan.

Saudara-saudaraku sekalian,

 23 tahun reformasi sudah kita lalui, seharusnya reformasi memberi masyarakat kedaulatan, keadilan, kesejahteraan dan kesetaraan.

Namun, rasanya cita-cita itu masih jauh. Dalam 23 tahun kita justru masih dihimpit banyak persoalan, mulai dari kecanduan impor pangan yang menunjukkan tiadanya kedaulatan kita dalam bidang pangan, hingga belitan utang luar negeri yang nilainya terus meningkat tajam.

Akibatnya, kesejahteraan rakyat jadi PR lama yang tak kunjung usai.

Kebijakan impor saya kira muncul dari perilaku para pemburu rente yang memaksakan agar kebijakan impor ini terus langgeng di republik yang kaya ini.

Para pemburu rente ini mencari keuntungan sesaat dan rela mengorbankan nasib rakyat kecil, nasib petani, nasib anak-cucu kita di kemudian hari.

Apakah ini buah dari sistem demokrasi kita yang high cost, sebagaimana pernah saya singgung dalam pidato sebelumnya? Saya kira ada hubungannya.

Ada yang perlu kita evaluasi dari demokrasi dan cara kita menjalankannya pasca-reformasi.

Tentu saja saya membuka wacana ini untuk kita diskusikan bersama, untuk kita kaji bersama, untuk kita temukan solusinya bersama-sama.

Akhirnya, kita sama-sama berdoa agar Republik ini semakin baik di kemudian hari.

Kita berdoa agar pemerintah semakin peduli dan membela kepentingan rakyat. Jangan lagi ada kebijakan-kebijakan yang merugikan dan mendatangkan penderitaan bagi sebagian rakyat.

Semoga kita menjalani ibadah di bulan Ramadhan ini dengan kondisi yang lebih baik. Dengan persiapan yang lebih baik.

Dengan situasi yang lebih menenangkan kita untuk bisa beribadah secara khusuk.

Mudah-mudahan hari raya lebaran tahun ini bisa kita rayakan tanpa beras impor, tanpa garam impor, tanpa daging impor, tanpa bawang dan gula impor.

 

Wabillahi taufiq wal hidayah. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

 

Zulkifli Hasan

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Ini Jadwal Operasional BI Selama Lebaran

JAKARTA-Kantor Bank Indonesia (BI), baik pusat dan daerah tidak beroperasi/ditutup

Target 15.000 Unit per Tahun, AMMDes Akan Diproduksi Masal Mulai 2019

JAKARTA-Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto mengatakan akan semakin memacu peningkatan