Puan Maharani; Dalam Bingkai Kepemimpinan Perempuan Perspektif Madzhab (Bagian I)

Monday 5 Sep 2022, 12 : 11 pm
by
Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Tinggal di Indramayu, Masduki Duryat

Oleh: Masduki Duryat

“Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayap seekor burung. Jika dua sayapnya sama kuatnya maka terbanglah burung itu sampai ke puncak setinggi-tingginya. Jika patah satu dari pada dua sayap itu maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali,”

Secara elegan dalam pidatonya Puan Maharani dengan beranalogi ingin mengilustrasikan betapa pentingnya kesadaran tentang kesetaraan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam peran-peran kebangsaan dan kenegaraan.

Puan juga ingin menegaskan bahwa menyertakan perempuan dalam setiap jabatan bukan sebagai kebijakan afirmatif tetapi merupakan kesadaran atas penghargaan harkat dan martabat manusia.

Kepemimpinan; Perspektif Teori

Kepemimpinan itu pengaruh, kata Sanborn lebih. Untuk mengembangkan pengaruh, pemimpin tidak harus memiliki jabatan—formal.

Pesan McGannon, leadership is action not position. Pesannya sangat ideal, bukannya posisi tidak penting, tetapi kepemimpinan lebih banyak berurusan dengan tindakan.

Sedangkan Ordway Tead dikutip oleh Kartini Kartono, “Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka mau bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan”.

Sementara James M. Liphan  mendefiisikan kepemimpinan dengan “The leadership as the behavior of an individual that anitiatives a new structure in interaction within a social system by changing the goals, objectives, configuration, procedures, or output of the system”.

Kepemimpinan itu kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan perannya to servant.

Pelayan bagi masyarakatnya, tanpa pandang bulu. Konsep melayani—to servant—tidak lebih mulia ketimbang dilayani.

Dalam pandangan Islam, kepemimpinan harus merefleksikan nilai-nilai ajaran agama dan kemanusiaan dalam perilaku kepemimpinannya.

Setiap muslim harus berupaya agar niat, sikap, tutur kata, perilaku dan perbuatannya senantiasa mengacu dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW,. Sosok pemimpin yang holistic, accepted, dan proven.

Sifat-sifat nabi Muhammad SAW., yang perlu diteladani dalam konteks kepemimpinan adalah shidiq/benar (komitmen pada kebenaran, selalu berkata benar dan berjuang menegakkan kebenaran), Amanah/jujur/dapat dipercaya, (obyektif, ucapan dan perbuatannya sesuai dengan bisikan hatinya, adil dan aspiratif). Tabligh (kominikatif, transparan, dan demokratis, siap bermusyawarah serta bermufakat untuk kebenaran). Fathonah (cerdas, cerdik, luas wawasan, terampil dan professional).

Dalam teori manajemen modern keempat sifat ini dipandang kunci keberhasilan kepemimpinan/manajemen.

Dalam konteks kekinian ternyata pemimpin tidak hanya dominasi kaum laki-laki, tetapi sekarang banyak perempuan mulai menduduki posisi yang strategis.

Kepemimpinan Perempuan; Perspektif Madzhab

Kepemimpinan perempuan di beberapa negara dan daerah sekarang ini banyak bermunculan.

Tidak hanya menjadi kepala desa, kepala sekolah, tetapi juga menjadi bupati, gubernur, hakim, menteri, anggota legislative, perdana menteri bahkan presiden.

Dalam perpektif madzhab, diskursus kepemimpinan perempuan menjadi perdebatan hingga sekarang. Mengenai perempuan menjadi hakim, para ulama berbeda pandangan.

Menarik untuk dicermati tulisan Prof. Adang Djumhur, bahwa  Imam Malik, al-Syafi’i dan Ahmad bin Hambalberpendapat bahwa hakim harus laki-laki tidak boleh perempuan karena hakim diharuskan memiliki kecerdasan prima, sementara perempuan dianggap naqishat al-aql, qalilat al-ra’yi, dan dapat menimbulkan fitnah.

Hanafi dan Ibn Hazm berpandangan, perempuan boleh menjadi hakim dengan catatan terbatas menangani perkara perdata, karena hakim bukan penguasa.

Fungsinya sama dengan mufti. Sedangkan Ibn Jarir al-Thabari dan Hasan al-Bahri berpendapat perempuan dibolehkan menjadi hakim untuk masalah perdata dan pidana. Tetapi pendapat ini ditolak oleh al-Mawardi karena menyimpang dari ijma’ dan QS. An-Nisa:34.

Sedangkan untuk menjadi anggota legislatif—masih menurut Adang Djumhur—(ahlu al-halli wa al-aqdi), para ulama juga berbeda pandangan, misalnya al-Mawardi, Abu Ya’la, dan al-Maududi berpendapat tidak memperbolehkan perempuan menjadi anggota legislatif, dengan alasan selain karena faktor nash (QS, An-Nisa’: 30) juga karena keanggotaan perempuan dalam institusi ini membuka peluang bagi pergaulan dengan lain jenis yang jelas diharamkan dalam Islam.

Sementara Sa’id Ramadhan al-Buthi berpandangan membolehkan perempuan menjadi anggota legislatif, karena fungsinya sama dengan mufti.

Menyangkut kepemimpinan perempuan dalam posisinya sebagai presiden/gubernur/bupati dalam pandangan fuqaha juga terjadi perbedaan.

Fuqaha pada umumnya tidak membolehkan perempuan menjadi presiden.

Sementara itu Syah Waliyullah ad-Dahlawi mengatakan, bahwa syarat seorang khalifah adalah berakal, dewasa, merdeka, laki-laki, pemberani, cerdas, mendengar, melihat, dan dapat berbicara.

Wahbah al-Zuhaili berpandangan mensyaratkan laki-laki sebagai imam (kepala negara) merupakan ijma’ para ulama ahli fiqh.

Tidak syah perempuan menduduki jabatan al-imamah al-uzmah (kepala negara) dan gubernur/bupati.

Nabi SAW., khulafa ur-Rasyidin serta para pemimpin sesudahnya tidak pernah mengangkat perempuan menjadi hakim dan gubernur (wilayah balad) dengan alasan QS. An-Nisa’ ayat 34 sebagai justifikasi hukumnya.

Laki-laki adalah qawwam (pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur, dan lain-lain yang semakna) atas perempuan, karena Allah  telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari hartanya.

Menurut ulama, kelebihan laki-laki atas perempuan karena keunggulan akal dan fisiknya. Pada pandangan al-Razi kelebihan itu meliputi ilmu pengetahuan dan kemampuan fisiknya (al-Qudrah).

Sementara itu Zamakhsari memandang bahwa kelebihan laki-laki disbanding perempuan karena akal, ketegasa (al-hazm), tekadnya yang kuat (al-‘azm), kekuatan fisik (al-Qudrah), secara umum memiliki kemampuan menulis (al-kitabah) dan keberanian (al-furusiyah wa ar-ramyu).

At-Thabathaba’I memandang kelebihan laki-laki atas perempuan karena quwwatu al-ta’aqul, memiliki keberanian, kekuatan, dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan. Sementara perempuan lebih sensitive dan emosional.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh al-Qurthubi, Ibnu Katsir, Muhammad Abduh, dan beberapa mufasir lain.

Mereka berpendapat bahwa kelebihan laki-laki itu merupakan pemberian Tuhan yang alami dan kodrati.

Persoalannya sekarang, secara realitas berlawanan dengan semua pendapat dan pandangan di atas. Di mana-mana, perempuan sudah eksis menjadi pemimpin dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang politik dan jabatan-jabatan public lainnya.

Di sini perlunya kita melakukan reaktualisasi ajaran Islam, melalui tafsir/pemikiran kontekstual.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

WIKA Rogoh Kocek Rp75 Miliar untuk Tuntaskan Tol Serang-Panimbang

JAKARTA–PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) melaporkan, perseroan memutuskan untuk

LPS Monitor Pergerakan Dana Pihak Ketiga

JAKARTA-Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus memantau pergerakan dana pihak ketiga