Oleh: AM Putut Prabantoro
Dua pekan lalu, 13 Juni 2013, Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini dalam peluncuran buku “WAJAH BARU INDUSTRI MIGAS INDONESIA” di Jakarta mengeluarkan seruannya agar pemerintah daerah tidak mengganggu kegiatan hulu migas.
Seruan itu diikuti oleh ancaman, akan meminta bantuan Kopassus untuk menindak para “preman daerah” ataupun “para tetangga” yang mengganggu kegiatan hulu migas di daerah.
Ancaman itu ditujukan kepada pemerintah daerah atau masyarakat setempat yang mengganggu “anak-anak SKK Migas”.
Yang dimaksud para preman adalah masyarakat daerah yang dituduh mengganggu kegiatan hulu migas di daerah. Sementara “para tetangga” digunakan untuk menyebut para bupati atau pemerintah daerah di mana kegiatan hulu migas beraktivitas.
Sedangkan yang dimaksud dengan “anak-anak SKKMigas” adalah para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S).
Oleh karena itu, Rudi Rubiandini meminta para pemerintah daerah melakukan kerjasama atau mengedepankan dengan SKK Migas dan diminta untuk tidak berani-berani mencubit K3S.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ini wajah baru dari SKKMigas yang melecehkan peranan pemerintah daerah dan masyarakatnya ?
Apakah bijaksana sebagai seorang Kepala SKKMigas, Rudi Rubiandini menganggap K3S sebagai “anak-anak SKK Migas” dan sementara memanggil para bupati dengan sebutan “para tetangga” dan rakyat di daerah itu sebagai “para preman”
UU OTONOMI DAERAH
Pada Agustus 2011, terjadi perusakan fasilitas JOB Pertamina-Medco di Pulau Tiaka, Sulawesi Tengah oleh para warga yang berasal dari daratan yang dalam penyerangan menggunakan perahu.
Peristiwa itu membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan kasus tersebut meski polisi dan TNI juga telah dikerahkan segera setelah kejadian.
Pencurian minyak di Sumatera Selatan yang ramai pada tahun 2012 adalah kasus lain dari terganggunya kegiatan hulu minyak.
Kasus ini mempunyai sejarah panjang dan belum tuntas sekalipun polisi dan TNI sudah turun untuk menanganinya.