Walaupun di protes dan diarahkan agar kegiatan diskusi tersebut dibubarkan, namun panitia penyelenggara tetap melangsungkan kegiatan hingga selesai.
Azwar menegaskan, kegiatan diskusi ini bertujuan untuk memberitahukan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa dalam memilih pemimpin harus melihat rekam jejaknya.
“Publik harus tahu bahwa Prabowo Subianto secara faktual dan tidak bisa dibantah oleh sejarah di negara ini adalah orang satu-satunya petinggi militer pada tahun 1998 yang dipecat dari dinas kemiliteran oleh Dewan Kehormatan Perwira. Itu yang masyarakat Indonesia hari ini harus tau,” jelas Azwar.
Menurut Azwar, buku ini ditulis bukan bermaksud untuk kampanye hitam kepada sosok tertentu.
Tapi, ini merupakan fakta sejarah yang belum terungkap dan diselesaikan.
Ia menuturkan, bahwa tidak ingin Indonesia memiliki pemimpin yang memiliki sejarah kelam masa lalu.
Azwar mengakui, pada Pemilu 2014 dan 2019 dirinya mendukung Jokowi.
Tujuan dukungan tersebut, agar mengalahkan Prabowo sebagai pelanggar HAM yang menculik kawan-kawannya di tahun 98.
Selain itu, Azwar menilai, Prabowo merupakan ancaman terbesar demokrasi Indonesia untuk masa depan.
Khususnya untuk pengusaha non pribumi.
“Kita semua bertanggungjawab untuk menyelamatkan bangsa ini dari kepeminpinan yang otoriter dan feodal sebagai warisan orde baru. Apalagi pada hari ini, wakilnya pelanggar konstitusi atau etik,” kata Azwar.
Sementara itu, Sarah Azmi Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Sumatera Barat (PBHI) menjelaskan, pihaknya sangat konsen pada isu HAM.
Sarah mengatakan, banyaknya kasus pelanggaran HAM di Sumatera Barat dipicu oleh Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan tidak mempertimbangkan kemanusian dan HAM.