Selama ini jelasnya, Direktur Utama Pertamina selalu diisi oleh orang-orang yang memiliki pengalaman di bidang korporasi dan migas, tetapi selalu gagal membawa Pertamina terbang tinggi untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan global, seperti Petronas atau PTT Thailand.
Periode Pertama pemerintah SBY, Dirut Pertamina dipimpin orang dalam, ARI SOEMARNO. Namun, Ari gagal membangun kilang migas, sehingga impor tetap tinggi. Ari Soemarno kemudian digantikan professional, Karen Agustiawan, ahli perminyakan.
Karen juga tak mampu membangun kilang migas. Bahkan di akhir masa kariernya, Karen, menjadi tersangka kasus korupsi pembelian blok migas di luar negeri.
“Ini sudah masuk problem integritas,” katanya.
Pada periode pertama tuturnya, pemerintahan Jokowi, Dirut Pertamina sudah diganti tiga kali. Awal pemerintahan, Pertamina dipimpin Dwi Soetjipto, mantan Dirut PT Semen Indonesia. Namun, Dwi tak bisa berbuat banyak. Program peremajaan kilang Cilacap, kilang Balongan, kilang Tuban dan Duri tidak bisa dilakukan.
Dwi kemudian dicopot dan digantikan Elia Massa Manik dari Dirut PT Perkebunan Negara. Elia juga gagal seperti Dwi dan hanya dua (2) tahun menjabat Dirut Pertamina dan digantikan Dirut sekarang dari pindahan dari PLN, Nicke Widyawati.
Nicke sampai sekarang masih susah payah berjuang membangun kilang. Bahkan partner Pertamina untuk membangun kilang Cilacap, Saudi Aramco sudah angkat kaki karena alasan proposal bisnis yang disodorkan Pertamina tak menarik.
Dirut-Dirut Pertamina yang berasal dari internal dan berlatar belakang korporasi, justru gagal melakukan transfer budaya kerja dan reformasi di tubuh Pertamina, karena bawahan-bawahannya tidak mengikuti perintah Dirut.
“Ini semua fakta, bukan asumsi. Tuntutan Serikat Pekerja Pertamina dan kritik Rizal Ramli soal kriteria calon bos Pertamina dari latar belakang korporasi atau internal Pertamina terbantahkan,” pungkasnya.
