Catatan Netizen di Balik Putusan Pengadilan Kasus Pembunuhan Engeline (Bagian I)

Friday 11 Mar 2016, 11 : 54 am
by
  1. Faktor terdakwa, adanya sikap hakim yang berbeda dalam memperlakukan terdakwa, dimana MM diperlakukan dengan kasar (sering dimarahi), disindir & ditertawakan dalam persidangan sehingga publik yang hadir menyaksikan persidangan ikut mentertawakan MM  sedangkan AT diperlakukan lebih humanis, selalu ditanggapi dengan sikap lebih sabar dan apabila dalam keterangan AT ada yang lupa sering di bantu. Ada kesan bahwa hakim mengikuti dan menyesuaikan perlakuannya pada MM dan AT sesuai dengan opini sebagian publik, yang mana sebagian publik tersebut menyakini bahwa MM adalah ibu yang jahat, bukan wanita baik-baik, seseorang  yang patut dimusuhi dan diperlakukan buruk sedangkan AT adalah seorang pemuda miskin, lugu, bodoh yang patut di kasihani dan di bela (Ironi Viktimisasi menurut Reza Indragiri).
  2. Hakim-pun hanyalah seorang manusia biasa, merekapun bisa salah melihat. Sebagai manusia biasa bisa jadi mereka percaya apa yang ingin mereka percaya, mereka melihat apa yang ingin mereka lihat. Buat saya pribadi bukanlah sebuah berita yang mengejutkan keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman seumur hidup pada MM, dan saya yakin seandainya perkaranya tidak ditangani di Bali yang merupakan jendela pariwisata di Indonesia, mungkin hukuman matilah yang akan di jatuhkan hakim pada MM, sekedar memuaskan keinginan sebagian besar publik secara maksimal.
  3. Sebagai manusia biasa hakimpun tidak luput dari kesalahan dalam memberikan keputusan entah disebabkan kekhilafan ataupun karena adanya alasan-alasan tertentu misalnya karena hakim tersebut membiarkan dirinya terjerat oleh kontruksi fakta yang ditawarkan oleh polisi dan jaksa yang justru seharusnya diuji dan dibuktikan di pengadilan, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak mencerminkan kejernihan sikap dan cenderung menggunakan logika yang sempit saat menuangkan argumentasinya sebagai pertimbangan hukum di dalam sebuah putusan.

Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas sudah selayaknya MM melalui kuasa hukumnya mengajukan banding karena memang keputusan Hakim terhadap dirinya yang dirasakan tidak benar (tidak tepat) atau tidak adil, hal tersebut disebabkan karena terdakwa (MM) merasa benar-benar tidak bersalah dan tidak merasa telah melakukan kejahatan yang didakwakan JPU kepadanya, tetapi ia mendapat hukuman pidana yang berat (seumur hidup).

Apakah upaya banding ini akan menghasilkan keputusan seperti yang diharapkan MM dan kuasa hukumnya? Selama hakim tingkat tinggi menerapkan prinsip hukum ‘In Dubio Pro Reo’ saya rasa Tim HSA dan MM akan mendapatkan keadilan yang mereka cari (walaupun saya tetap skeptis) seperti yang saya bilang selama sidangnya masih di Bali, yakin banget saya, kalau usaha mencari keadilan MM (didampingi kuasa hukumnya) bakalan menemui jalan buntu. Terlalu banyak permainan di sana, yang membayangi kasus ini, sehingga kasus kematian Engeline itu sendiri seakan seakan ‘dipakai’ pihak-pihak tertentu untuk mencapai kepentingan, ambisi dan engsinya. Ya dan tidaknya sih hanya orang-orang yang terlibat di dalamnya yang tahu, kita para netizen hanya bisa menduga-duga. Yang membuat saya heran, mengapa fakta-fakta persidangan yang sudah jelas diterjemahkan lain oleh majelis hakim? Kurang cermat? Kurang teliti? salah perpepsi? Sengaja menyesatkan? atau kita yang gagal paham?? Tim HSA memberikan analisa yuridis dengan pemahaman tingkat tinggi walaupun ahkirnya pemahaman itu masuk tong sampah, karena hakim lebih memilih memakai pemahaman dangkal tim Hotman Paris, hasil kerja buru-buru tim pengacara yang tidak menguasai materi persidangan. Dan hasil analisa yuridis yang dangkal tersebut karena ybs ketahuan tidak memahami dengan baik penjelasan kedokteran forensik (gagal paham) sehubungan hasil visum et repertum terhadap jenasah Engeline. Ah, ya sudahlah, mau komentar apalagi kenyataannya memang tragis, di Indonesia sepertinya tidak terlalu dihargai pengacara cerdas yang jago memberikan analisa yuridis dan menguasai hukum, yang dihargai kayaknya justru pengacara yang suka show off, punya jam rolex, punya lamborghini (padahal Jakarta macet percuma juga punya), pintar caper, pakai perhiasan blink-blink (haha) dan suka koar-koar di media, duhhh!  ( ).

Yang lebih tragis lagi, hasil bincang basa basi antara MM dan dr. Lely Setyawati, SpKJ dijadikan pertimbangan majelis hakim ”bahwa luka-luka di 31 titik sesuai hasil visum et repertum bersesuaian dengan org yang memiliki kepribadian dan kejiwaan seperti terdakwa MM”, masih ingat kan apa kata dokter jiwa ini tentang MM? Dominan dan maskulin, sifat pemarah, tampak agressif dan mempunyai kecenderungan psikopatik, dengan sifat paranoid, sadisme dan pemarah . Oops sorry ya saya bilang hasil bincang basa basi bukan pemeriksaan, kan sudah jelas itu bukan pemeriksaan, kan tidak ada ijin tertulis dari MM dan tidak ada pemberitahuan sebelumnya kalau itu pemeriksaan. Hakim sudah mendengar sendiri, bahwa pemeriksaan yang di lakukan ahli jiwa ini tidak sah (sesuai keterangan dr.Djaja sewaktu ditanyakan terkait hal ini) dan menurut menurut Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri metode pengujian yang dilakukan oleh Ahli Dr. Lely Setyawati tersebut tidak sesuai dengan standart-standar yang ditetapkan APA (American Physicologi Association), yang  berlaku secara internasional. Tes menggambar yang dilakukan oleh Ahli dr. Lely Setyawati tingkat validitas dan relibilitasnya sangat rendah, dimana oleh ahli psikologi APA metode ini hanya digunakan untuk setting medis bukan psikologi forensik. Bahwa metode pemeriksaan berupa Mini Check tidak ada dalam psikologi forensik, yang ada adalah mini mental style assesment untuk mengukur tingkat kepikunan yang hanya terdiri dari 30 pertanyaan. Keterangan dr.lely ini tidak didukung dengan data, rekaman, hasil wawancara untuk membuktikan bahwa proses pemeriksaannya terhadap MM telah dilakukan sesuai dengan prosedur, bahkan dr yang katanya ahli tersebut menolak membawa bukti ke hadapan persidangan, hah?. Singkat kata  hasil bincang basi-basi ahli jiwa ini seharusnya di kesampingkan.

Mengutip kata-kata bijak Mantan Presiden Republik Indonesia, Bpk. Susilo Bambang Yudhoyono: “Keadilan itu sederhana, nyatakan yang salah itu salah & benar itu benar. Jangan dibalik-balik.” Dan  sesederhana itulah seharusnya sebuah keadilan, menghukum yang bersalah & bukan sebaliknya, sebuah potret keadilan yang diimpikan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.

Ahkir kata, seharusnya vonis hakim di dasarkan pertimbangan hukum, sesuai fakta-fakta yang terkuak selama persidangan, sesuai undang-undang tanpa terpengaruh adanya intevensi baik eksternal maupun internal, sehingga menghasilkan vonis hakim yang berkualitas dan bisa di pertanggung jawabkan secara proffesional pada masyarakat serta dapat di pertanggung jawabkan secara moral & spiritual pada Tuhan YME. 

Air Mata Buaya Hamidah |Catatan Netizen Di balik Putusan Pengadilan Kasus Pembunuhan Engeline II

@SW2016.

*Penulis adalah seorang netizen asal Belanda yang telah mengikuti kasus pembunuhan Engeline sejak awal diberitakan hilang. Data pribadi Penulis ada pada redaksi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Dilikuidasi 15 Perusahaan Modal Ventura

JAKARTA-Sedikitnya 15 perusahaan modal ventura telah dibekukan, alias likuidasi oleh

TPDI: Perusuh Jakarta Diduga Dibayar dan Dikoordinir Tokoh BPN

JAKARTA-Kehadiran para pelaku sksi rusuh Jakarta diduga kuat dibayar dan