Dengan kata lain, payung hukum diperlukan untuk menegakkan keadilan.
Sebab sifat dasar hukum adalah keadilan. Itu sebabnya St. Agustinus mengatakan, unjust law is not law, hukum yang tidak adil bukanlah hukum.
Begitu pula putusan hakim yang tidak adil tidak dapat dipakai sebagai sumber hukum yang harus dilaksanakan.
Keadilan sulit diperoleh dalam suatu perkara jika hakim yang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara tersebut terlibat konflik kepentingan.
Ada sebuah adagium universal peradilan dalam Bahasa Latin berbunyi: nemo sibi esse judex vel suis jus dicere debet. Atau dalam bahasa Inggeris: No man ought to be his own judge, or to administer justice in cases where his relations are concerned.
Secara harafiah adagium itu mempunyai arti, tidak ada seorang pun yang dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri. Sebab tidak mungkin ada keadilan dalam putusan hakim atas kasus-kasus dimana kepentingan hakim itu tersangkut di dalamnya.
Kepentingan hakim itu wujudnya adalah adanya hubungan keluarga atau hubungan perkawinan antara hakim dengan orang-orang yang tersangkut atau berkepentingan dengan perkara yang sedang ditangani hakim tersebut.
Putusan pengadilan yang lahir dari hakim yang punya konflik kepentingan, tidak hanya kehilangan esensinya sebagai tatanan akal budi, atau ordonatio rationis, dalam terminologi St. Thomas Aquinas, tetapi juga putusan hakim itu jauh dari tujuan hukum demi melayani kepentingan umum (ad bonum commune).
Sebab putusan itu hanya melayani kepentingan hakim dan keluarganya.
Putusan hakim harus objektif
Hukum positif kita telah mengatur dengan tegas bahwa kekuasaan kehakiman kita harus berjalan di atas prinsip dan dasar objektivitas dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan sebuah perkara.