Ketua MK Patut Diduga Melanggar Kode Etik Hakim Konstitusi

Tuesday 17 Oct 2023, 4 : 19 pm
by
Edi Danggur, S.H., M.M., M.H

Dalam Bagian Dua mengenai prinsip ketakberpihakan butir 5, ditegaskan: “Hakim konstitusi – kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya korum untuk melakukan persidangan – harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak.

Ada dua alasan yang membuat Hakim Konstitusi sulit bersikap netral atau tidak objektif.

Pertama,  Hakim Konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau

Kedua, Hakim Konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.

Kontribusi Ketua MK Anwar Usman untuk mengabulkan permohonan tersebut sangat signifikan atau sangat menentukan.

Lihat saja, diantara anggota majelis hakim MK yang terdiri dari 8 orang, ada 4 orang hakim menolak permohonan tersebut dan 4 orang hakim lainnya mengabulkan permohonan tersebut.

Jika Ketua MK saat voting memihak pada kelompok hakim yang menolak permohonan maka putusan akhir adalah permohonan tersebut ditolak.

Sebaliknya, seperti yang terjadi saat ini, Ketua MK memihak pada kelompok hakim yang mengabulkan permohonan, maka putusan akhir adalah permohonan tersebut dikabulkan.

Keadilan yang menunjang kehidupan bersama

Dengan hadirnya Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, muncul dilema.

Di satu sisi, putusan MA bersifat final dan mengikat.

Final berarti tidak tersedia lagi upaya hukum untuk membatalkan putusan tersebut, sedangkan mengikat berarti putusan tersebut dapat segera dilaksanakan (eksekutabel).

Di sini berlaku adagium universal: res judicata pro veritate habetur, artinya: apa yang sudah diputuskan oleh hakim harus dianggap benar.

Oleh karena itu putusan tersebut dapat dilaksanakan, terutama oleh orang-orang yang mendapatkan keuntungan atau manfaat dari putusan tersebut.

Tetapi di sisi lain, putusan hakim MK tersebut hanya melayani kepentingan orang atau kelompok tertentu, atau partai tertentu.

Putusan MK itu bukanlah wujud hukum yang ideal, yang merupakan sebuah tatanan akal budi yang mengabdi pada kebaikan umum (lex est rationis ordination ad bonum commune). Maka putusan MK tersebut kehilangan kewibawaannya sebagai hukum. Hukum yang tidak mengabdi pada tatanan akal budi dan menjauhi kebaikan umum, tidak patut dilaksanakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Don't Miss

Ganjar Memotivasi Generasi Muda Kembangkan Pertanian dan Pariwisata Manggarai

Kedua, Herman juga meminta Ganjar-Mahfud untuk memperhatikan masalah pendidikan di

TPDI: KPK Menjadi Alat Politik Rivalitas Menuju 2024

JAKARTA-Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus menilai Komisi